bab1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan hal yang paling berharga dengan
masa depan anak sebagai pembentukan kualitas suatu bangsa. Sebagaimana dalam UUD 1945 Pasal 31 “Pendidikan adalah hak
seluruh warga negara tanpa membedakan asal usul, sosial, ekonomi, maupun keadaan fisik seseorang, termasuk
anak-anak yang mempunya kelainan”.
Dalam hal ini anak luar biasa mendapatkan
pendidikan yang selayaknya dengan anak normal biasanya. Pendidikan sebagai
tolak ukur untuk mencapai tujuan yang diharapkan agar anak mampu belajar dan
berkomunikasi dengan orang di sekelilingnya.
Sebagai negara yang memiliki penduduk yang bermayoritas
muslim dengan berbagai suku, adat
dan agama. Tentunya disini perlunya pembangunan karakter yang kuat dalam melatih
anak-anak dalam belajar. Sebagaimana dalam Undang-undang nasional indonesia UUN nomor 20 tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional Bab
IV pasa 10 menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan,
membimbing dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian pada pasal 11 ayat
(1) juga menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah
daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya
pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara
tanpa diskriminasi. Dalam hal ini partisipasi
pemerintah daerah wajib dan berhak memberikan
pembelajaran yang bermutu kepada anak-anak
disekolah baik sekolah SD, SMP, SMA dan Sekolah Luar Biasa (SLB). (Nazaruddin, Manajemen Pembelajaran, implementasi
Konsep, Karakteristik
dan Metodologi Pendidikan Agama
Islam di Sekolah
Umum,
2007:9).
Anak Tunagrahita masih dipandang memiliki kelainan
dan kekurangan pada masyarakat. Pada hal dalam
akademik anak tuna grahita mempunyai kelainan diatas rata-rata seperti anak lainnya. Dalam belajar anak tuna
grahita mempunyai kekurangan dalam hal asesmen membaca (reading) karena kelemahan IQ nya. Dalam
pengertiannya anak tuna grahita mengalami kelemahan mental.
Sehingga mempengaruhi psikologis dan
karakter anak dalam berkomunikasi dengan teman sebayanya. Lebih spesifiknya
anak tuna grahita mengalami gangguan otaknya sehingga mempengaruhi daya
pikirnya. Selain itu gangguan mental (retardation mental) membuat nya tidak percaya diri. Anak Tuna Grahita memiliki
kemampuan intelegensi di bawah rata 50 -70.
Sehingga anak Tuna grahita membutuhkan perhatian khusus dalam dalam
pembelajaran. Dalam hal ini peran guru dalam mendampingi anak belajarnya perlu
penggunaan metode khusus agar anak mampu memahami dengan apa yang di ajarkan. Dalam
hal ini perlunya guru disekolah memakai metode- metode belajar yang cocok
dengan kondisi anak agar mampu memahami dengan materi yang diajarkan.
Secara garis besar pembelajaran pada anak tuna
grahita masih belum kondusif dalam pembelajarannya. Di kutip dari jurnal E-JUPEK (jurnal ilmiah pendidikan khusus) (182-191:2014)
karya ilmiah yang ditulis Fadila sefni
dalam kegiatan pembelajaran anak luar biasa. Menurut
Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2003) menyatakan “anak Tuna Grahita merupakan
anak yang secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik”. Dapat di jelaskan bahwa proses
pembelajaran dalam anak tuna grahita membutuhkan metode-metode khusus dalam pembelajaran agar tercapai dalam pembelajaran .
Psikologis anak tuna grahita mengalami tekanan yang luar
biasa jika ada
sesuatu yang tidak terturuti.
Dalam hal ini anak tuna grahita
membutuhkan
bimbingan khusus. Sehingga guru mampu memahami
emosi dan keadaan anak tuna grahita. Anak Tuna Grahita di Indonesia dapat di klasifikasikan intelegensinya dengan beberapa bagian: Anak Tuna Grahita
dengan IQ sedang 50-70, sedang memiliki IQ 35-40 dan
berat iQ 20-25. kemampuan intelegensi ini membutuhkan metode
pembelajaran yang dengan kondisi
anak dan situasi yang menyenangkan bagi
anak tunagrahita.
Dewasa
ini banyak Anak Tuna Grahita mempunyai potensi yang luar biasa karena mereka
didik dengan metode yang baik sesuai dengan pembelajaran
yang mereka butuhkan. Disisi lain anak tuna grahita mempunyai kelemahan dalam
berfikir karena keterbatasan intelegensinya.
Kematangan emosi pada anak tuna grahita
perlu dibangun dengan sikap dan perilaku sosial
ketika berhadapan dengan seseorang. Sosialisasi
pada anak tuna grahita akan menumbuhkan keyakinan dan juga penyesuaian diri
terhadap sesama. Misalnya di
luar kelas mereka bermain dan menjalin komunikasi dengan teman sesama. Dalam
hal ini penyesuaian diri seseorang akan
membantu mereka berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. sebagaimana mengutip penyesuaian diri sosial menurut Schneiders (1964), “Rumah, sekolah
dan masyarakat merupakan aspek khusus dari aspek kelompok sosial dan
melibatkan pola-pola hubungan
diantara kelompok tersebut
dan saling berhubungan secara
integral” (M.Nur Ghufron &
Rini Risnawati, Teori – Teori Psikologi
2014:53) dari pengertian tersebut
jika di gambar kan dalam bidang chart maka siklus dalam penyesuaian ini
akan membentuk kemandiriaan seseorang sesuai dengan kontribusi hubungan yang
terjadi. Kepribadian sosial
akan terbentuk dengan ranah kognitif perkembangan anak dalam
siklus tersebut .
Posting Komentar untuk "bab1"