ISTIHSAN
ISTIHSAN
TugasIniGunaMemenuhi Mata Kuliah :
USHUL FIQH
DosenPengampu :Dra. Sri Haningsih M.Ag.
Oleh :
NURUL HIDAYAT10422062
RAFI RIZZA RASHIDA ILMI 11422042
SUSI TRI NURSYAMSIAH12422001
NUR RAHMAWATI 12422061
M. RIZKI HABIBI 12422080
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2013
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah, dengan segala rahmat-Nya dan hidayah-Nya, makalah yang berjudul, ”ISTIHSAN” sebagai tugas yang diberikan dosen pengampu mata kuliah Ushul Fiqh dapat terselesaikan dan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh penulis. Kami sebagai penulis berusaha agar makalah yang kami buat ini memiliki arti penting dan sesuai dengan materi yang telah di berikan.
Pendekatan dan penyajian dalam makalah ini pada prinsipnya membahas pokok permasalahan yang berhubungan dengan istihsan dan kasus/permasalahan yang ada di zaman sekarang (era modern).Dengan memahami tentang pokok masalah tersebut, diharap pembaca dapat lebih mengetahui dan memahami tentang istihsan.
Kami telah berusaha menyusun makalah ini sebaik mungkin.Akan tetapi kami sadar, tak ada gading yang tak retak, begitu juga pada pada karya tulis ini yang belum sempurna. Oleh karena itu, semua kritik dan saran demi perbaikan makalah ini akan kami sambut dengan senang hati.
Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada dosen dan teman-teman yang telah mendukung terselesainya makalah ini.
Yogyakarta, 5 Oktober 2013
Penulis,
Kelompok 3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LatarBelakangMasalah
Apabilasuatukasustelahadanasnya di dalam al-Qur’an atau as-Sunnahataual-Ijma’, makakasustadidiselesaikandenganmenggunakandalil-daliltadidandalamhalsemacaminitidakadaijtihadbir-ra’yi.Apabilakasustadipemecahannyatidakdidapatdalam al-Qur’an, as-Sunnahatau al-Ijma’ tetapiadapersamaanillatdengankasus yang lain yang dinashkanatau yang telahterdapatijma’ padanyamakahukumnyadipersamakan.Cara demikiandisebutqiyas.
Apabilaadakasus yang dapatdiselesaikandenganmenggunakanqiyas yang dhahirataudenganmenggunakan hukum kulliyakantetapiapabiladenganmenggunakancaratersebutakankehilangankemaslahatannyaataumembawakepadakemafsadatanmakaharusberpindahdaripenggunaancaratersebutkecara lain, yaitumengkhususkandari yang umumataumengecualikannyadari yang kulliyataumenggunakanqiyaskhafiy, yaitumentarjihkansuatudalilatasdalil yang lain denganijtihadnyasimujtahidkarenaadanyakemaslahatan, menghilangkankesempitan, ataukarenakebiasaan yang shahih. Cara inilah yang disebutdenganistihsan.
Apabilaadasuatukasusdantidakadahukumnya di dalamnashdanijma’ danjugatidakmungkindilakukanqiyassertatidakadaperlawananan antarasuatudalildengandalil yang lain, sedangapabiladibiarkan akanmenimbulkankemafsadatandankemudharatanmakadalamhal yang semacaminisimujtahidmenggunakanistishlahataual-mashalih al-mursalah.
B. RumusanMasalah
Dalam makalah ini masalah yang perlu dipecahkan dirumuskan sebagai berikut :
1. Apa pengertian istihsan?
2. Apa saja kehujjahan istihsan?
3. Apa hubungan istihsan dengan istishlah?
4. Apa macam-macam istihsan dan contoh-contohnya?
5. Apa contoh kasus/permasalahan tentang istihsan di zaman sekarang (era modern) dan solusinya?
C. TujuandanManfaat
Tujuan membuat makalah ini adalah sebagai bukti bahwa kami mampu menyelesaikan tugas sesuai dengan materi yang diberikan dan sesuai dengan waktu yang diberikan. Selaian daripada tujuan di atas kami berharap makalah ini, dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Digunakan sebagai sumber referensi dan penambah wawasan kita mengenai istihsan.
2. Acuan kita mahasiswa atau calon pendidik dalam proses belajar menjadi seorang pendidik/guru yang professional.
3. Sebagai motivasi untuk para pembaca lebih mengetahui dan menggali tentangistihsan dan kasus/permasalah yang ada di zaman sekarang (era modern).
BAB II
PEMBAHASAN
A. PengertianIstihsan
Secara etimologis istihsan berarti, “memperhitungkan sesuatu yang lebih baik, atau adanya sesuatu itu lebih baik, atau mengikuti sesuatu yang lebih baik, dan atau mencari yang lebih baik untuk diikuti”.
Dari segi bahasa diatas tergambar adanya seseorang yang menghadapi dua hal yang keduanya baik.Namun ada hal yang mendorongnya untuk meninggalkan satu diantaranya dan menetapkan untuk mengambil yang satunya lagi, karena itulah yang dianggapnya lebih baik untuk diamalkan.Misalnya seseorang yang dititipi barang harus mengganti barang yang dititipkan kepadanya apabila digunakan untuk mengongkosi hidupnya. Apabila seorang anak menitipkan barang kepada Ayahnya, kemudian barang tersebut digunakan oleh ayahnya untuk membiayai hidupnya, maka berdasarkan istihsan si Ayah tidak diwajibkan untuk menggantinya, karena ia mempunyai hak menggunakan harta anaknya untuk membiayai keperluan hidupnya.
Adapun pengertian istihsan secara istilah menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasarkan dalil syara’, menuju ( menetapkan ) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
B. KehujjahanIstihsan
Kaidah istihsan dalam hubungan dengan dalil fiqih merupakan suatu kaidah yang qath’i yang diambil pengertiannya dari sejumlah dalil nas yang saling mendukung kepada suatu pengertian yang memberi faedah qath’i. Oleh karena itu istilah istihsan itu merupakan kaidah umum yang ditarik dari lafadz itu, diterapkan kepada setiap peristiwa yang ada relefansinya dan di tetapkan hukumnya dengan memasukannya kedalam kategori obyek yang umum itu.
Maslahat merupakan kaidah istihsan yang dihasilkan secara induktif yang dari segi kekuatan istidlal (pembuktian) dengannya dapat mengganti kedudukan dalil umum yang di ambil dari suatu lafadz. Dalil umum yang di hasilkan secara induktif itu diterapkan kepada setiap masalah cabang yang tidak di jelaskan hukumnya oleh nash karena dalil umum itu dapat merealisasi kemasalahatan umum.
Dalam hal ini Al-Syatibi berkata : “Apabila mujtahid menarik kesimpulan secara induksi dari dalil-dalil khusus dan menggeneralisasinya, maka setelah itu ia tidak membutuhkan bagi dalil khusus terhadap suatu peristiwa, akan tetapi kesimpulan itu dapat di terapkan kepadanya jika peristiwa itu secara khusus masuk dalam pengertian umum hasil induksi tanpa perlu pembenaran dengan kias atau dalil lainnya. Karena induksi dari umum makna sama dengan dalil yang dinaskan dengan lafadz yang umum. Kalau sudah demikian, maka untuk apalagi mencari lafadz yang khusus”.
Menurut golongan Hanafiah, istihsan itu bisa menjadi dalil syara’. Istihsan dapat menetapkan hukum yang berbeda dengan hukum yang di tetapkan oleh qiyas atau umum nash. Tegasnya menurut mereka istihsan dapat di jadikan dalil (hujjat) Al-Taptazani mengatakan bahwa istihsan adalah salah satu dari dalil-dalil yang di sepakati oleh para ulama, karena istihsan di dasarkan kepada nash atau kepada ijma’, darurat atau kepada qiyas khafi.
Untuk mendukung kehujjahan istihsan, golongan hanafiah mengemukakan alasan atau dalil dari al-qur’an, al-sunnah dan ijma’. Di antaranya adalah:
1. Surat Az-Zumar :18
Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya”.
2. Surat Az-Zumar :55
Artinya: “Dan ikutilah sebaik-baik apa yang Telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”
Istihsan dapat di jadikan sebagai dalil syara’ karena istihsan itu bukan menetapkan hukum dengan ra’yi semata, isthsan itu merupakan suatu cara istinbat hukum yang dapat di pertanggungjawabkan karena di dasakkan kepada sandaran (sanad) yang kuat.
Setelah diteliti istihsan dalam fiqih Maliki dan Hanafih maka dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya istihsan itu merupakan salah satu upaya mujtahid untuk mencari jalan keluar dari kekuatan kaidah umum atau qiyas terhadap suatu masalah jus’i dalam rangka mencari ketentuan hukum yang lebih sesuai dengan jiwa dan ruh syariat, karena memang nahs tidak bisa di pahami hanya secara bahasa semata tetapi harus di pahami dengan menggunakan logika pembuatan syariat (Al-Mantiq Al-tasyri’i) yang luas yang memberikan kesempatan kepada mujtahid untuk merealisasi kehendak al-syari’ semaksimal mungkin.
C. Hubungan Istihsan dengan Istishlah
Istishlah adalah suatu cara penetapan hukum terhadap masalah yang tidak dijelaskan hukumnya oleh nas dan ijmak dengan mendasarkan pada pemeliharaan al-maslahat al-mursalat . Al-maslahat al-mursalat adalah maslahat yang tidak disebutkan dengan nas tertentu akan tetapi sejalan dengan kehendak syara’. Secara definitive , al-maslahat al-mursalat dapat diartikan dengan sesuatu yang tidak ada dalil khusus yang mengakui dan tidak pula yang membatalkannya, namun keras dugaan apabila ia diterapkan akan dapat memelihara kebutuhan-kebutuhan pokok seperti memelihara agama, jiwa keturunan, akal dan harta, dan dapat menghilangkan kesulitan.
Sebagian ulama’ ada yang berpendapat bahwa maslahat mursalat ialah kemaslahatanyang tidak disinggung oleh syara’ dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan. Maslahat mursalat di sini disebut juga maslahat mutlak, karena tidak ada dalil yang mengakui kesahan atau kebatalannya. Jadi pembentukan hukum dengan cara maslahat mursalah semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan arti untuk mendatangkan manfaat dan menolak kemudlorotan dan kerusakan bagi manusia. Oleh karena memelihara kebutuhan-kebutuhan pokok dan menghindarkan kesempitan itu menjadi tujuan syari’at, maka al-maslahat al-mursalat termasuk tujuan syariat secara umum. Setiap yang dapat memelihara dan mewujudkan tujuan tersebut dapat dilakukan sejauh tidak bertentangan dengan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an. Hukum yang dite dengan istislah adalah seperti pembukuan Al-Qur’an dalam satu mushaf yang dilakukan oleh Usman ibn Affan, khalifah ketiga.hal itu tidak dijelaskan oleh nas dan ijmak, melainkan didasarkan atas maslahat yang sejalan dengan kehendak syarak untuk mencegah kemungkinan timbulnya perselisihan umat tentang Al-Qur’an.
Dasar Hukum maslahat mursalat adalah: Persoalan yang dihadapi manusia selalu berkembang , demikian pula kepentingan hidupnya
Obyek maslahat mursalat yaitu hukum dalam bidang mu’amalat dan semacamnya, sedang dalam soal-soal ibadah adalah hakAllah untuk menetapkan hukumnya, karena manusia tidak sanggup mengetahui dengan lengkap hikmat ibadat.
Perbedaan istihsan dengan istislah adalah bahwa istihsan berarti beramal dengan maslahat ketika berhadapan dengan dalil umum atau qiyas, sedangkan pada istislah tidak ada dalil umum atau qiyas yang dikecualikan dengan maslahat. Artinya , kalau istihsan berarti ada dalil- yaitu dalil umum atau qiyas-yang dikecualikan dengan maslahat, sedangkan pada istislah tidak ada dalil yang dikecualikan dengan maslahat, akan tetapi bersifat mutlak.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa istihsan dan istislah, merupakan cara-cara istimbat hukum yang berdiri sendiri yang kedua-duanya ditemui dalam ushul fiqh Maliki, tetapi bila diperhatikan macam-macam istihsan sebagaimana yang telah dijelaskan tersebut di atas ,maka dapat disimpulkan bahwa istihsan lebih umum daripada istislah, karena almaslahat-mursalah satu macam dari dasar istihsan. Sebab istihsan selain beramal dengan al-maslahat mursalat jug aberamal dengan ijmak, urf , sedangkan istihsan hanya didasarkan kepada almaslahat almursalat saja.
D. PembagianIstihsandanContoh-contohnya
Istihsan dapat dibagi dari dua segi :
I. Segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dipakai
a. Dari qiyas yang jelas menuju qiyas yang tidak jelas ;
Contoh ; menurut qiyas , hak pengairan dal lalu lintas yang ada dalam tanah pertanian yang diwakafkan , tidak ikut diwakafkan , apabila tidak disebutkan tegas-tegas . menurut istihsan , dsapat masuk.
menurut qiyas yang jelas , wakaf tersebut dipersamakan dengan jual beli , karena persamaan tujuan , yaitu mengeluarkan hak-milik atas suatu dari orang yang mempunyainya. Dalam jual beli hak pengairan dan lalu lintas tidak termasuk. Demikian pula dalam wakaf .
akan tetapi menurut qiyas yang tidak jelas , wakaf tersebut disamakan dengan sewa –menyewa , karena tujuan nya sama, yaitu mengambil manfaat barang bukan miliknya, sendiri. Dalam menyewakan tanah pertanian hak pengarian dan lalu lintas termasuk, meski tidak disebutkan. Demikian pula dalam wakaf .
meninggalkan ketentuan qiyas yang jelas dan mengambil manfaat dari barang wakafan.
b. Dari ketentuan nash yang umum menuju hukum yang khusus ;
Sebagai contoh ialah pengecualian hukuman potong tangan pencuri dari ketentuan ayat 38 al-ma’idah yang menyatakan adanya hukuman tersebut apabila pencuri tersebut dilakukan dalam musim kelaparan, sebagaimana yang pernah digariskan Umar r.a.
c. Dari hukum yang umum kepada hukum pengecualian ;
Orang yang dititipi suatu barang, sesudah meninggalnya, harus menggantinya, apabila ia melalaikan pemeliharaan barang tersebut. Dari segi istihsan, seseorang ayah tidak diwajibkan menggantinya, karena ia bisa menggunakan harta-benda anaknya untuk mengkosongi hidupnya (anak) atau untuk dagang, yang boleh jadi bisa mengalami kerugian .
II. Segi sandaran dasar istihsan :
a. Dasar yang berupa qiyas ;
Seperti dalam contoh diatas.
b. Dasar yang berupa nas ;
Seperti larangan menjual barang yang tidak / belum ada yang dikeluarkan Nabi s.a.w., akan ia memperoleh salam (jual buah tanaman sebelum masa mengetamnya).
c. Dasar yang berupa kebiasaan;
Seperti pesan pakaian yang seharusnya tidak sah , karena barangnya belum ada. Akan tetapi menurut istihsan, diperbolehkan, karena perbuatan semacam itu telah menjadi kebiasaan.
E. ContohKasus/Masalah Istihsandi ZamanSekarang(Era Modern) danSolusinya
1. Jual Beli
Secara etimologi, al-bay’u (jual beli) berarti mengambil dan memberikan sesuatu. Adapun secara terminologi, jual beli adalah transaksi tukar menukar yang berkonsekuensi beralihnya hak kepemilikan, dan hal itu dapat terlaksana dengan akad, baik berupa ucapan maupun perbuatan.
Al-bay’u adalah transaksi tukar menukar harta yang dilakukan secara sukarela atau proses mengalihkan hak kepemilikan kepada orang lain dengan adanya kompensasi tertentu dan dilakukan dalam koridor syariat.
Adapun hikmah disyariatkannya jual beli adalah merealisasikan keinginan seseorang yang terkadang tidak mampu diperolehnya, dengan adanya jual beli dia mampu untuk memperoleh sesuatu yang diinginkannya, karena pada umumnya kebutuhan seseorang sangat terkait dengan sesuatu yang dimiliki saudaranya.
Rukun dan syarat jual beli adalah ketentuan – ketentuan dalam jual beli yang harus di penuhi agar jual belinya sah menurut syara’ ( hukum islam).
A. Orang yang melakukan jual beli
Syarat – syarat yang harus dimiliki oleh penjual dan pembeli adalah:
1. Berakal
2. Baligh
3. Berhak menggunakan hartanya. Orang yang tidak berhat menggunakan (membelanjakan) hartanyakarena sangat bodoh tidak sah jual belinya.
B. Shigat atau ucapan ijab kabul
Ulama fiqih sepakat bahwa unsur utama dalam jual beli adalah kerelaan antara penjual dan pembeli. Karena kerelaan itu berada dalam hati, maka harus diwujudkann melalui ucapan ijab (dari pihak penjual) dan kabul (dari pihak pembeli)
C. Barang yang diperjual belikan
Barang yang di perjual belikan harus memenuhi syarat – syarat yang diharuskan, antara lain:
1. Barang yang diperjual belikan harus halal
2. Barang itu ada manfaatnya.
3. Barang itu ada di tempat, atau tidak ada tetapi sudah tersedia di tempat lain, misal di gudang.
4. Barang itu milik penjual atau berada dibawah kekuasaannya.
5. Barang itu hendaklah diketahui oleh penjual dan pembeli dengan jelas, baik zatnya, bentuknya dan kadarnya maupun sifat – sifatnya.
D. Nilai tukar barang yang dijual
Syarat – syarat nilai tukar barang yang di jual adalah :
1. Harga jual yang disepakati penjual dan pembeli harus jelas jumlahnya.
2. Nilain tukar barang itu dapat diserahkan pada waktu transaksi jual beli, walaupun secara hukum, misalnya pembayaran menggunakan cek atau kartu kredit.
3. Apabila jual beli dilakukan secara barter, maka nilai tukarnya tidak boleh dengan barang yang haram.
2. Jual Beli Online
Kemajuan teknologi informatika disatu sisi patut kita syukuri tatkala dengannya memudahkan kita dalam urusan ibadah seperti tersebarnya dakwah kepenjuru dunia dalam waktu singkat, walhamdulillah.. Dan tidak terkecuali urusan dunia yang termasuk didalamnya jual beli, turut menjadi lebih mudah.
Bisa dibayangkan bagaimana 'fulanah' yang tinggal di Jakarta misalnya, membeli baju gamis tanpa harus keluar dari rumahnya, tanpa harus naik angkot, tanpa harus berletih-letih, tapi bisa diperoleh dengan kemajuan teknologi tersebut. Walau demikian, bagaimana pandangan syariat atas kemajuan teknologi informatika terhadap transaksi jual beli secara online?!
Ijma' (sepakat) para ulama bahwasanya “Transaksi jual beli yang disyaratkan harus tunai serah terima barang dan uang maka tidak dibenarkan dilakukan secara online via internet, telepon, sms, bbm atau yang sejenisnya”.Contoh: Seorang membeli emas secara online via internet, setelah mentransfer uang. baru kemudian emas tersebut dikirim ke pembelinya. Ini hukumnya tidak sah karena termasuk riba nasi'ah.
Sebagaimana putusan Majma' Al Fiqh Al Islami ( Divisi fiqih OKI) No.52 (3/6) tahun 1990 yang berbunyi, "Apabila akad terjadi antara dua orang yang berjauhan yang tidak berada dalam satu majelis dan masing-masing pelaku transaksi tidak saling melihat dan tidak pula tidak saling mendengar serta media diantara mereka adalah tulisan atau surat atau orang suruhan, hal ini dapat diterapkan juga pada faksmili, teleks dan internet maka akad berlangsung dengan sampainya ijab dan qabul kepada masing-masing pihak yang bertransaksi.
Syarat-syarat mendasar diperbolehkannya jual beli lewat online adalah sebagai berikut:
1. Tidak melanggar ketentuan syari’at Agama, seperti transaksi bisnis yang diharamkan, terjadinya kecurangan, penipuan dan menopoli.
2. Adanya kesepakatan perjanjian diantara dua belah pihak (penjual dan pembeli) jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan antara sepakat (Alimdha’) atau pembatalan (Fasakh). Sebagaimana yang telah diatur didalam Fikih tentang bentuk-bentuk option atau alternative dalam akad jual beli (Alkhiarat) seperti Khiar Almajlis (hak pembatalan di tempat jika terjadi ketidak sesuaian), Khiar Al’aib (hak pembatalan jika terdapat cacat), Khiar As-syarath (hak pembatalan jika tidak memenuhi syarat), Khiar At-Taghrir/Attadlis (hak pembatalan jika terjadi kecurangan), Khiar Alghubun (hak pembatalan jika terjadi penipuan), Khiar Tafriq As-Shafqah (hak pembatalan karena salah satu diantara duabelah pihak terputus sebelum atau sesudah transaksi), Khiar Ar-Rukyah (hak pembatalan adanya kekurangan setelah dilihat) dan Khiar Fawat Alwashaf (hak pembatalan jika tidak sesuai sifatnya).
3. Adanya kontrol, sangsi dan aturan hukum yang tegas dan jelas dari pemerintah (lembaga yang berkompeten) untuk menjamin bolehnya berbisnis yang dilakukan transaksinya melalui online bagi masyarakat. Jika bisnis lewat online tidak sesuai dengan syarat-syarat dan ketentuan yang telah dijelaskan di atas, maka hukumnya adalah “Haram” tidak diperbolehkan.Kemaslahatan dan perlindungan terhadap umat dalam berbisnis dan usaha harus dalam perlindungan negara atau lembaga yang berkompeten.Agar tidak terjadi hal-hal yang membawa kemudratan, penipuan dan kehancuran bagi masyarakat dan negaranya.
Dalam jual beli online barang yang diperjualbelikan tidak disaksikan secara langsung oleh pembeli, maka jual beli seperti ini dinamakan ba'i al ghaib 'alash shifat yakni jual beli barang yang tidak dihadirkan pada majelis akad atau tidak disaksikan secara langsung sekalipun hadir dalam majelis.
Perlu diketahui, bahwa pedagang online dalam praktek berjualan pada situsnya, tergolong diantara 3 status kepemilikan:
1. Pemilik situs adalah pemilik barang
Setelah kita mengetahui bahwasanya akad jual beli yang dilaksanakan dimana fisik barang tidak dapat disaksikan secara langsung melainkan sekedar gambar dan penjelasannya adalah termasuk ba'i al ghaib 'alash shifat, namun perlu diketahui telah terjadi khilaf diantara para ulama tentang sah atau tidaknya ba'i al ghaib 'alash shifat.
Jika anda adalah fanatikus mazhab syafi’i dan konsekuen maka segeralah tutup toko online anda. Kenapa demikian?!Karena mazhab syafi'i menganggap jual beli barang yang tidak disaksikan pada saat akad, sekalipun barang itu ada, hukumnya tidak sah, mereka menganggap ada gharar atau ketidak jelasan dalam akad ini.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: "Pendapat yang kuat dalam mazhab ba'i al ghaib 'alash shifat adalah tidak sah." (Minhajut Thalibin, jilid II hal 12)
Pendapat mereka ini berdalil dengan larangan hadits nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang jual beli gharar”.(Hadits riwayat Imam Muslim)
Akan tetapi jika anda bukanlah fanatikus madzhab syafi'i, maka anda bisa bernafas lega karena mayoritas mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali berpendapat bahwa ba'i al ghaib 'alash shifat adalah sah. Dalilnya adalah:
Firman Allah ta'ala:
ÙˆَØ£َØَÙ„َّ اللَّÙ‡ُ الْبَÙŠْعَ
“Allah telah menghalalkan jual beli”. (Al-Baqarah: 275).
Ba'i Al Ghaib 'Alash Shifat adalah bagian dari jual beli, karena hukum asal jual beli adalah halal dan tidak ada hal-hal yang menyebabkan menjadi haram maka hukumnya tetap berada dalam asalnya yakni halal.
Adapun yang menganggap ba'i al ghaib 'alash shifat adalah tidak jelas alias gharar maka ini tidak benar, karena suatu objek barang dapat menjadi jelas tidak hanya dapat diketahui dengan indera mata (melihat secara langsung) namun bisa juga diketahui dengan indera lain yakni dengan cara penjelasan spesifikasi baik dalam bentuk lisan maupun tulisan.
Perhatikanlah juga bagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
“Janganlah seorang wanita bergaul dengan wanita lain, kemudian ia menjelaskan ciri-ciri tubuh wanita tersebut kepada suaminya, seolah-olah suaminya melihat langsung wanita yang disifati”. (Hadits riwayat Bukhari)
Hadist ini tegas menyatakan sama antara penjelasan melalui kata-kata dengan melihat langsung, sehingga akad jual beli semacam ini jelas tidak ada unsur gharar didalamnya.
Sehingga jelaslah bahwa ba'i al ghaib 'alash shifat adalah halal, dengan catatan bahwa penjelasan kata-kata haruslah jelas seperti ukuran, model maupun warnanya.
2. Pemilik situs adalah agen/perwakilan dari pemilik barang
Terkadang dalam kehidupan berbisnis, masing-masing ada yang dianugerahi kelebihan dan kekurangan, ada orang yang dianugerahi Allah berupa modal (rezeki) namun tidak memiliki keahlian marketing, begitu sebaliknya ada yang diberi keahlian marketing namun tidak memiliki kemampuan produksi, bahkan ada yang memiliki kemampuan produksi namun tidak memiliki modal tidakpula marketing. Hal ini menandakan bahwa kita adalah makhluk sosial yang mana dalam kehidupannya saling membutuhkan satu dengan yang lain.
Berkaitan dengan ini, kita dapatkan dalam praktek jual beli online ada pemilik situs yang tidak memiliki barang namun dia merupakan agen/wakil dari pemilik barang yang aslinya.
Agen atau wakil yang dimaksud adalah izin resmi dari pemilik barang dengan menaruh kepercayaan kepada seseorang untuk membantu memasarkan atau menjual barangnya kemudian tatkala laku, orang tersebut diberi komisi sesuai kesepakatan.Lantas bagaimana hukumnya?
Maka jawabannya agen/wakil itu kedudukannya sama dengan pemilik barang, sehingga jual belinya sah. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: "Aku hendak pergi menuju khaibar, lalu akupun mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, aku mengucapkan salam kepada beliau, aku lantas berkata: "Aku ingin pergi ke Khaibar",. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Bila engkau mendatangi wakilku dikhaibar ambillah darinya 15 wasq (900 sha') kurma! Bila dia meminta bukti (bahwa engkau adalah wakilku) maka letakkanlah tanganmu diatas tulang bawah lehernya”.(Hadits riwayat Abu Dawud, menurut Ibvnu Hajar sanadnya hasan)
3. Pemilik situs bukan pemilik barang bukan pula agen/perwakilan dari pemilik barang.
Para ulama sepakat bahwa tidak sah hukum jual beli jika pemilik situs tidak memiliki barang-barang yang ia tampilkan pada situsnya padahal dia bukanlah sebagai wakil/agen dari pemilik barang yang sebenarnya.
Biasanya salahsatu contoh dalam hal ini adalah apa yang kita kenal dengan istilah jual beli sistem dropship.Apa itu dropship?
Dropship adalah salahsatu bentuk sistem jualan online, dimana buyer (pembeli) membayar suatu produk kepada pihak reseller (penjual online), kemudian pihak reseller membayar kepada dropshipper (produsen) yang tentunya dengan harga lebih murah, lalu pihak dropshipper mengirim produknya kepada pembeli langsung atas nama reseller, sehingga selisih antara harga reseller dan harga dropshipper adalah keuntungan pihak reseller.
Penjelasan antara dropshipper, reseller dan buyer :
1. Dropshipper adalah pihak pemilik barang atau wakil/agen pemilik barang atau bisa juga disebut produsen.
2. Reseller adalah penjual online yang menawarkan barang orang lain kepada para konsumen.
3. Buyer adalah pembeli/pelanggan/konsumen yang membeli barang pihak reseller.
Pihak penjual (reseller) dalam proses penjualan produk bisa dikatakan berada dalam zona aman, tidak ada resiko kerugian yang ditanggung, tidak mengeluarkan modal sedikitpun, bahkan sebagai penjual tidak perlu mengurus pengiriman barang ke pembeli karena pihak dropshipper-lah yang mengurusnya. Reseller hanya menyediakan situs sarana pemasaran seperti membuat toko online sendiri atau buka lapak di kaskus, facebook, dan yang lain sejenisnya.
Akad jual beli seperti ini tidak sah, karena mengandung 2 bentuk gharar:
1. Pihak reseller (penjual online) menjual barang yang bukan miliknya, maka masuk kedalam larangan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Hakim Bin Hizam radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Wahai Rasulullah, seseorang datang kepadaku untuk membeli suatu barang, kebetulan barang tersebut sedang tidak kumiliki, apakah boleh aku menjualnya kemudian aku membeli barang yang diinginkannya dari pasar? Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Jangan engkau menjual barang yang belum engkau miliki". (Hadist riwayat Abu Dawud dan dishahihkan oleh Imam Albani).
2. Pihak reseller yang telah membeli barang kepada dropshiper (produsen) nekad langsung menjual barang tersebut kepada pelanggan yang lain sementara barang yang dibelinya tersebut belum diterima dari dropshipper. Maka hal ini juga termasuk kedalam larangan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Hakim bin Hizam radhiyallahu 'anhu, ia berkata: “Yaa Rasulullah, saya sering melakukan jual beli, apa jual beli yang halal dan haram? Nabi bersabda: "Wahai anak saudaraku, bila engkau membeli sebuah barang janganlah engkau jual sebelum barang tersebut engkau terima. (Hadist riwayat Imam Ahmad, Imam Nawawi menyatakan hadits ini hasan)
Maka solusi dalam hal ini adalah:
Pertama: Memberi layanan pengadaan barang
Relasi yang luas atau kemampuan pengadaan barang yang memadai, memungkinkan Anda menawarkan jasa ke orang lain untuk pengadaan barang yang mereka butuhkan. Anda berhak meminta imbalan, dengan nominal yang jelas dan disepakati di awal akad.Misal, Anda menjadi supplier restoran tertentu untuk kebutuhan barang tertentu.Anda berhak mendapat upah dari restoran tersebut.Pada kasus ini, anda murni menjual jasa kepada klien anda.
Kedua :Menjadi agen atau distributor resmi
Pada posisi ini anda layaknya tangan panjang pemilik barang atau produsen.Karena secara prinsip status anda adalah wakil bagi pemilik barang. Anda bisa melakukan transaksi dengan cara apapun, baik offline atau online, sebagaimana Anda juga dibenarkan untuk menjualnya secara tunai atau secara kredit dengan harga yang Anda tentukan atau sesuai kesepakatan. Tentu saja, untuk bisa menjadi agen, anda harus melalui beberapa tahapan sesuai dengan aturan keagenan yang ditetapkan oleh pemilik barang.Dalil masalah ini adalah hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Kaum muslimin itu sesuai persyaratan yang mereka sepakati.(HR. Bukhari secara muallaq, Abu Daud, Ahmad dan yang lainnya).
Ketiga :Melakukan transaksi salam
Akad salam adalah akad pemesanan suatu barang dengan kriteria yang telah disepakati dan dengan syarat pembayaran harus tunai dan waktu serah terima barangnya harus jelas pada saat akad dilaksanakan.
Ijma' para ulama tentang bolehnya berjual beli dengan sistem akad salam ini. Dan diantara dalil disyari'atkannya akad salam ialah hadits berikut:Dari sahabat Ibnu Abbas radhiallhu 'anhuma, ia berkata: "Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di kota Madinah, sedangkan penduduk Madinah telah biasa memesan buah kurma dalam tempo waktu dua tahun dan tiga tahun, maka beliau bersabda: '"Barang siapa yang memesan sesuatu, maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang telah diketahui kedua belah pihak dan dalam timbangan yang telah diketahui kedua belah pihak, serta dalam tempo yang telah diketahui kedua belah pihak pula. (Muttafaqun 'alaih)
Mungkin ada yang mempertanyakan, apa yang membedakan akad salam dengan sistem dropshipping yang lazim dilakukan? Pada transaksi salam terdapat syarat-syarat yang harus dijalankan masing-masing pihak penjual (reseller) dan pembeli. Dan juga pihak reseller harus membeli obyek transaksi itu dari pemilik barang secara sempurna, sampai terjadi serah terima. Artinya barang sudah berpindah tangan ke pihak reseller kemudian barulah reseller sendiri yang mengirim barang ke buyer atas nama dirinya. Dalil hal ini adalah hadis dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu 'anhu,
Ø¥ِÙ„َÙ‰ Ø±ØØ§Ù„هم Ù†َÙ‡َÙ‰ رَسُولُ اللَّÙ‡ِ صَÙ„َّÙ‰ اللَّÙ‡ُ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ ÙˆَسَÙ„َّÙ…َ Ø£َÙ†ْ تُبَاعَ السِّÙ„َعُ ØَÙŠْØ«ُ تُبْتَاعُ ØَتَّÙ‰ ÙŠَØُوزَÙ‡َا التُّجَّارُ
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menjual barang di tempat dia membeli barang tersebut, sampai para pedagang memindahkan barang itu ke tempatnya sendiri”.(HR. Abu Daud, Ibn Hibban dan dihasankan Al-Albani)
3. Adat/’Urf/Ta’ammul
Secara terminologis adat/’urf/ta’ammul adalah segala sesuatu yang biasa dijalankan orang pada umumnya, baik perbuatan ataupun perkataan.
Syarat penggunaan adat kebiasaan :
1. Tidak bertentangan dengan nash, baik al-Qur’an maupun as-Sunnah.
2. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan kemaslahatan termasuk di dalamnya tidak memberi kesempitan dan kesulitan.
3. Telah berlaku pada umumnya kaum muslimin, dalam arti bukan hanya yang biasa dilakukan oleh beberapa orang Islam saja.
4. Tidak berlaku di dalam masalah ibadah madhlah.
4. Hubungan antara jual beli online dengan adat/’urf/ta’ammul
Jual beli online yang sedang marak-maraknya di era modern ini, tentu saja ada hubungannya dengan adat/’urf/ta’ammul. Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa jual beli online tidak sah karena barang yang akan dijual tidak ada/ghaib. Tetapi menurut Madzhab Maliki, Hanbali dan Hanafi hal ini diperbolehkan karena sudah menjadi suatu kebisaan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Istihsan adalah mengeluarkan hukum sesuatu dengan menggunakan dalil baru yang dihasilkan melalui penelaahan mendalam terhadap dalil yang digunakan sebelumnya karena adanya unsur-unsur dhorurah yang menyangkut kepentingan umum serta dengan mempertimbangkan hal-hal baik yang ada di dalamnya.
2. Istihsan dengan segala bentuknya adalah mengalihkan ketentuan hukum syara’ dari yang berdasarkan suatu dalil syara’ kepada hukum lain yang didasarkan kepada dalil syara’ yang lebih kuat. karena prinsip ini yang menjadi substansi istihsan, maka pada hakikatnya tidak ada seorang ulama’pun yang menolak keberadaan istihsan sebagai dalil syara’.
3. Keberadaan istihsan sangat penting untuk mengawal laju perkemabangan yang sangat cepat ini. Tentunya dibutuhkan teori-teori istihsan yang tidak jumud, dengan artian istihsan juga harus ikut memiliki perkembangan dalam membaca situasi kehidupan yang mencakup segala sisi (sosial,ekonomi, politik dan sebagainya). Maka pengembangan konsep istihsan adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi.
4. Jual beli online menurut istihsan diperbolehkan karena merupakan suatu adat/kebiasaan.
B. Saran
Kami menyadari dalam penyusunan dan penjelasan yang ada di dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan, untuk itu kami menyarankan untuk dilakukan suatu pengkajian yang lebih mendalam mengenai materi ini.Dan demi perbaikan makalah kami selanjutnya kami mohon saran dan ktitik pembaca yang tentunya membangun.Demikianlah hasil karya tulis kami yang terangkum dalam suatu makalah semoga bermanfaat dan akhirnya kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin, Amir. 2001. UshulFiqhJilid 2. Logos WacanaIlmu : Jakarta
Djazuli, Ahmad. 2005. IlmuFiqh. KencanaPrenada Media Group : Jakarta
Hanafie, Ahmad. 1957. UshulFiqh. Widjaya : Jakarta
Abdul Madjid, Ahmad. 1994. Ushul Fiqih. Garoeda Buana Indah : Jawa Timur
http://rahmathariry.blogspot.com/2012/02/istihsan-makalah.html
http://dewamakalah.blogspot.com/2013/03/macam-rukun-dan-syarat-jual-beli.html
http://muslim.or.id/uncategorized/jual-beli-dan-syarat-syaratnya.html/comment-page-1
http://www.khodeejahboutique.com/2013/01/hukum-jual-beli-online-via-internet-bbm.html
TugasIniGunaMemenuhi Mata Kuliah :
USHUL FIQH
DosenPengampu :Dra. Sri Haningsih M.Ag.
Oleh :
NURUL HIDAYAT10422062
RAFI RIZZA RASHIDA ILMI 11422042
SUSI TRI NURSYAMSIAH12422001
NUR RAHMAWATI 12422061
M. RIZKI HABIBI 12422080
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2013
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah, dengan segala rahmat-Nya dan hidayah-Nya, makalah yang berjudul, ”ISTIHSAN” sebagai tugas yang diberikan dosen pengampu mata kuliah Ushul Fiqh dapat terselesaikan dan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh penulis. Kami sebagai penulis berusaha agar makalah yang kami buat ini memiliki arti penting dan sesuai dengan materi yang telah di berikan.
Pendekatan dan penyajian dalam makalah ini pada prinsipnya membahas pokok permasalahan yang berhubungan dengan istihsan dan kasus/permasalahan yang ada di zaman sekarang (era modern).Dengan memahami tentang pokok masalah tersebut, diharap pembaca dapat lebih mengetahui dan memahami tentang istihsan.
Kami telah berusaha menyusun makalah ini sebaik mungkin.Akan tetapi kami sadar, tak ada gading yang tak retak, begitu juga pada pada karya tulis ini yang belum sempurna. Oleh karena itu, semua kritik dan saran demi perbaikan makalah ini akan kami sambut dengan senang hati.
Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada dosen dan teman-teman yang telah mendukung terselesainya makalah ini.
Yogyakarta, 5 Oktober 2013
Penulis,
Kelompok 3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LatarBelakangMasalah
Apabilasuatukasustelahadanasnya di dalam al-Qur’an atau as-Sunnahataual-Ijma’, makakasustadidiselesaikandenganmenggunakandalil-daliltadidandalamhalsemacaminitidakadaijtihadbir-ra’yi.Apabilakasustadipemecahannyatidakdidapatdalam al-Qur’an, as-Sunnahatau al-Ijma’ tetapiadapersamaanillatdengankasus yang lain yang dinashkanatau yang telahterdapatijma’ padanyamakahukumnyadipersamakan.Cara demikiandisebutqiyas.
Apabilaadakasus yang dapatdiselesaikandenganmenggunakanqiyas yang dhahirataudenganmenggunakan hukum kulliyakantetapiapabiladenganmenggunakancaratersebutakankehilangankemaslahatannyaataumembawakepadakemafsadatanmakaharusberpindahdaripenggunaancaratersebutkecara lain, yaitumengkhususkandari yang umumataumengecualikannyadari yang kulliyataumenggunakanqiyaskhafiy, yaitumentarjihkansuatudalilatasdalil yang lain denganijtihadnyasimujtahidkarenaadanyakemaslahatan, menghilangkankesempitan, ataukarenakebiasaan yang shahih. Cara inilah yang disebutdenganistihsan.
Apabilaadasuatukasusdantidakadahukumnya di dalamnashdanijma’ danjugatidakmungkindilakukanqiyassertatidakadaperlawananan antarasuatudalildengandalil yang lain, sedangapabiladibiarkan akanmenimbulkankemafsadatandankemudharatanmakadalamhal yang semacaminisimujtahidmenggunakanistishlahataual-mashalih al-mursalah.
B. RumusanMasalah
Dalam makalah ini masalah yang perlu dipecahkan dirumuskan sebagai berikut :
1. Apa pengertian istihsan?
2. Apa saja kehujjahan istihsan?
3. Apa hubungan istihsan dengan istishlah?
4. Apa macam-macam istihsan dan contoh-contohnya?
5. Apa contoh kasus/permasalahan tentang istihsan di zaman sekarang (era modern) dan solusinya?
C. TujuandanManfaat
Tujuan membuat makalah ini adalah sebagai bukti bahwa kami mampu menyelesaikan tugas sesuai dengan materi yang diberikan dan sesuai dengan waktu yang diberikan. Selaian daripada tujuan di atas kami berharap makalah ini, dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Digunakan sebagai sumber referensi dan penambah wawasan kita mengenai istihsan.
2. Acuan kita mahasiswa atau calon pendidik dalam proses belajar menjadi seorang pendidik/guru yang professional.
3. Sebagai motivasi untuk para pembaca lebih mengetahui dan menggali tentangistihsan dan kasus/permasalah yang ada di zaman sekarang (era modern).
BAB II
PEMBAHASAN
A. PengertianIstihsan
Secara etimologis istihsan berarti, “memperhitungkan sesuatu yang lebih baik, atau adanya sesuatu itu lebih baik, atau mengikuti sesuatu yang lebih baik, dan atau mencari yang lebih baik untuk diikuti”.
Dari segi bahasa diatas tergambar adanya seseorang yang menghadapi dua hal yang keduanya baik.Namun ada hal yang mendorongnya untuk meninggalkan satu diantaranya dan menetapkan untuk mengambil yang satunya lagi, karena itulah yang dianggapnya lebih baik untuk diamalkan.Misalnya seseorang yang dititipi barang harus mengganti barang yang dititipkan kepadanya apabila digunakan untuk mengongkosi hidupnya. Apabila seorang anak menitipkan barang kepada Ayahnya, kemudian barang tersebut digunakan oleh ayahnya untuk membiayai hidupnya, maka berdasarkan istihsan si Ayah tidak diwajibkan untuk menggantinya, karena ia mempunyai hak menggunakan harta anaknya untuk membiayai keperluan hidupnya.
Adapun pengertian istihsan secara istilah menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasarkan dalil syara’, menuju ( menetapkan ) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
B. KehujjahanIstihsan
Kaidah istihsan dalam hubungan dengan dalil fiqih merupakan suatu kaidah yang qath’i yang diambil pengertiannya dari sejumlah dalil nas yang saling mendukung kepada suatu pengertian yang memberi faedah qath’i. Oleh karena itu istilah istihsan itu merupakan kaidah umum yang ditarik dari lafadz itu, diterapkan kepada setiap peristiwa yang ada relefansinya dan di tetapkan hukumnya dengan memasukannya kedalam kategori obyek yang umum itu.
Maslahat merupakan kaidah istihsan yang dihasilkan secara induktif yang dari segi kekuatan istidlal (pembuktian) dengannya dapat mengganti kedudukan dalil umum yang di ambil dari suatu lafadz. Dalil umum yang di hasilkan secara induktif itu diterapkan kepada setiap masalah cabang yang tidak di jelaskan hukumnya oleh nash karena dalil umum itu dapat merealisasi kemasalahatan umum.
Dalam hal ini Al-Syatibi berkata : “Apabila mujtahid menarik kesimpulan secara induksi dari dalil-dalil khusus dan menggeneralisasinya, maka setelah itu ia tidak membutuhkan bagi dalil khusus terhadap suatu peristiwa, akan tetapi kesimpulan itu dapat di terapkan kepadanya jika peristiwa itu secara khusus masuk dalam pengertian umum hasil induksi tanpa perlu pembenaran dengan kias atau dalil lainnya. Karena induksi dari umum makna sama dengan dalil yang dinaskan dengan lafadz yang umum. Kalau sudah demikian, maka untuk apalagi mencari lafadz yang khusus”.
Menurut golongan Hanafiah, istihsan itu bisa menjadi dalil syara’. Istihsan dapat menetapkan hukum yang berbeda dengan hukum yang di tetapkan oleh qiyas atau umum nash. Tegasnya menurut mereka istihsan dapat di jadikan dalil (hujjat) Al-Taptazani mengatakan bahwa istihsan adalah salah satu dari dalil-dalil yang di sepakati oleh para ulama, karena istihsan di dasarkan kepada nash atau kepada ijma’, darurat atau kepada qiyas khafi.
Untuk mendukung kehujjahan istihsan, golongan hanafiah mengemukakan alasan atau dalil dari al-qur’an, al-sunnah dan ijma’. Di antaranya adalah:
1. Surat Az-Zumar :18
Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya”.
2. Surat Az-Zumar :55
Artinya: “Dan ikutilah sebaik-baik apa yang Telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”
Istihsan dapat di jadikan sebagai dalil syara’ karena istihsan itu bukan menetapkan hukum dengan ra’yi semata, isthsan itu merupakan suatu cara istinbat hukum yang dapat di pertanggungjawabkan karena di dasakkan kepada sandaran (sanad) yang kuat.
Setelah diteliti istihsan dalam fiqih Maliki dan Hanafih maka dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya istihsan itu merupakan salah satu upaya mujtahid untuk mencari jalan keluar dari kekuatan kaidah umum atau qiyas terhadap suatu masalah jus’i dalam rangka mencari ketentuan hukum yang lebih sesuai dengan jiwa dan ruh syariat, karena memang nahs tidak bisa di pahami hanya secara bahasa semata tetapi harus di pahami dengan menggunakan logika pembuatan syariat (Al-Mantiq Al-tasyri’i) yang luas yang memberikan kesempatan kepada mujtahid untuk merealisasi kehendak al-syari’ semaksimal mungkin.
C. Hubungan Istihsan dengan Istishlah
Istishlah adalah suatu cara penetapan hukum terhadap masalah yang tidak dijelaskan hukumnya oleh nas dan ijmak dengan mendasarkan pada pemeliharaan al-maslahat al-mursalat . Al-maslahat al-mursalat adalah maslahat yang tidak disebutkan dengan nas tertentu akan tetapi sejalan dengan kehendak syara’. Secara definitive , al-maslahat al-mursalat dapat diartikan dengan sesuatu yang tidak ada dalil khusus yang mengakui dan tidak pula yang membatalkannya, namun keras dugaan apabila ia diterapkan akan dapat memelihara kebutuhan-kebutuhan pokok seperti memelihara agama, jiwa keturunan, akal dan harta, dan dapat menghilangkan kesulitan.
Sebagian ulama’ ada yang berpendapat bahwa maslahat mursalat ialah kemaslahatanyang tidak disinggung oleh syara’ dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan. Maslahat mursalat di sini disebut juga maslahat mutlak, karena tidak ada dalil yang mengakui kesahan atau kebatalannya. Jadi pembentukan hukum dengan cara maslahat mursalah semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan arti untuk mendatangkan manfaat dan menolak kemudlorotan dan kerusakan bagi manusia. Oleh karena memelihara kebutuhan-kebutuhan pokok dan menghindarkan kesempitan itu menjadi tujuan syari’at, maka al-maslahat al-mursalat termasuk tujuan syariat secara umum. Setiap yang dapat memelihara dan mewujudkan tujuan tersebut dapat dilakukan sejauh tidak bertentangan dengan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an. Hukum yang dite dengan istislah adalah seperti pembukuan Al-Qur’an dalam satu mushaf yang dilakukan oleh Usman ibn Affan, khalifah ketiga.hal itu tidak dijelaskan oleh nas dan ijmak, melainkan didasarkan atas maslahat yang sejalan dengan kehendak syarak untuk mencegah kemungkinan timbulnya perselisihan umat tentang Al-Qur’an.
Dasar Hukum maslahat mursalat adalah: Persoalan yang dihadapi manusia selalu berkembang , demikian pula kepentingan hidupnya
Obyek maslahat mursalat yaitu hukum dalam bidang mu’amalat dan semacamnya, sedang dalam soal-soal ibadah adalah hakAllah untuk menetapkan hukumnya, karena manusia tidak sanggup mengetahui dengan lengkap hikmat ibadat.
Perbedaan istihsan dengan istislah adalah bahwa istihsan berarti beramal dengan maslahat ketika berhadapan dengan dalil umum atau qiyas, sedangkan pada istislah tidak ada dalil umum atau qiyas yang dikecualikan dengan maslahat. Artinya , kalau istihsan berarti ada dalil- yaitu dalil umum atau qiyas-yang dikecualikan dengan maslahat, sedangkan pada istislah tidak ada dalil yang dikecualikan dengan maslahat, akan tetapi bersifat mutlak.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa istihsan dan istislah, merupakan cara-cara istimbat hukum yang berdiri sendiri yang kedua-duanya ditemui dalam ushul fiqh Maliki, tetapi bila diperhatikan macam-macam istihsan sebagaimana yang telah dijelaskan tersebut di atas ,maka dapat disimpulkan bahwa istihsan lebih umum daripada istislah, karena almaslahat-mursalah satu macam dari dasar istihsan. Sebab istihsan selain beramal dengan al-maslahat mursalat jug aberamal dengan ijmak, urf , sedangkan istihsan hanya didasarkan kepada almaslahat almursalat saja.
D. PembagianIstihsandanContoh-contohnya
Istihsan dapat dibagi dari dua segi :
I. Segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dipakai
a. Dari qiyas yang jelas menuju qiyas yang tidak jelas ;
Contoh ; menurut qiyas , hak pengairan dal lalu lintas yang ada dalam tanah pertanian yang diwakafkan , tidak ikut diwakafkan , apabila tidak disebutkan tegas-tegas . menurut istihsan , dsapat masuk.
menurut qiyas yang jelas , wakaf tersebut dipersamakan dengan jual beli , karena persamaan tujuan , yaitu mengeluarkan hak-milik atas suatu dari orang yang mempunyainya. Dalam jual beli hak pengairan dan lalu lintas tidak termasuk. Demikian pula dalam wakaf .
akan tetapi menurut qiyas yang tidak jelas , wakaf tersebut disamakan dengan sewa –menyewa , karena tujuan nya sama, yaitu mengambil manfaat barang bukan miliknya, sendiri. Dalam menyewakan tanah pertanian hak pengarian dan lalu lintas termasuk, meski tidak disebutkan. Demikian pula dalam wakaf .
meninggalkan ketentuan qiyas yang jelas dan mengambil manfaat dari barang wakafan.
b. Dari ketentuan nash yang umum menuju hukum yang khusus ;
Sebagai contoh ialah pengecualian hukuman potong tangan pencuri dari ketentuan ayat 38 al-ma’idah yang menyatakan adanya hukuman tersebut apabila pencuri tersebut dilakukan dalam musim kelaparan, sebagaimana yang pernah digariskan Umar r.a.
c. Dari hukum yang umum kepada hukum pengecualian ;
Orang yang dititipi suatu barang, sesudah meninggalnya, harus menggantinya, apabila ia melalaikan pemeliharaan barang tersebut. Dari segi istihsan, seseorang ayah tidak diwajibkan menggantinya, karena ia bisa menggunakan harta-benda anaknya untuk mengkosongi hidupnya (anak) atau untuk dagang, yang boleh jadi bisa mengalami kerugian .
II. Segi sandaran dasar istihsan :
a. Dasar yang berupa qiyas ;
Seperti dalam contoh diatas.
b. Dasar yang berupa nas ;
Seperti larangan menjual barang yang tidak / belum ada yang dikeluarkan Nabi s.a.w., akan ia memperoleh salam (jual buah tanaman sebelum masa mengetamnya).
c. Dasar yang berupa kebiasaan;
Seperti pesan pakaian yang seharusnya tidak sah , karena barangnya belum ada. Akan tetapi menurut istihsan, diperbolehkan, karena perbuatan semacam itu telah menjadi kebiasaan.
E. ContohKasus/Masalah Istihsandi ZamanSekarang(Era Modern) danSolusinya
1. Jual Beli
Secara etimologi, al-bay’u (jual beli) berarti mengambil dan memberikan sesuatu. Adapun secara terminologi, jual beli adalah transaksi tukar menukar yang berkonsekuensi beralihnya hak kepemilikan, dan hal itu dapat terlaksana dengan akad, baik berupa ucapan maupun perbuatan.
Al-bay’u adalah transaksi tukar menukar harta yang dilakukan secara sukarela atau proses mengalihkan hak kepemilikan kepada orang lain dengan adanya kompensasi tertentu dan dilakukan dalam koridor syariat.
Adapun hikmah disyariatkannya jual beli adalah merealisasikan keinginan seseorang yang terkadang tidak mampu diperolehnya, dengan adanya jual beli dia mampu untuk memperoleh sesuatu yang diinginkannya, karena pada umumnya kebutuhan seseorang sangat terkait dengan sesuatu yang dimiliki saudaranya.
Rukun dan syarat jual beli adalah ketentuan – ketentuan dalam jual beli yang harus di penuhi agar jual belinya sah menurut syara’ ( hukum islam).
A. Orang yang melakukan jual beli
Syarat – syarat yang harus dimiliki oleh penjual dan pembeli adalah:
1. Berakal
2. Baligh
3. Berhak menggunakan hartanya. Orang yang tidak berhat menggunakan (membelanjakan) hartanyakarena sangat bodoh tidak sah jual belinya.
B. Shigat atau ucapan ijab kabul
Ulama fiqih sepakat bahwa unsur utama dalam jual beli adalah kerelaan antara penjual dan pembeli. Karena kerelaan itu berada dalam hati, maka harus diwujudkann melalui ucapan ijab (dari pihak penjual) dan kabul (dari pihak pembeli)
C. Barang yang diperjual belikan
Barang yang di perjual belikan harus memenuhi syarat – syarat yang diharuskan, antara lain:
1. Barang yang diperjual belikan harus halal
2. Barang itu ada manfaatnya.
3. Barang itu ada di tempat, atau tidak ada tetapi sudah tersedia di tempat lain, misal di gudang.
4. Barang itu milik penjual atau berada dibawah kekuasaannya.
5. Barang itu hendaklah diketahui oleh penjual dan pembeli dengan jelas, baik zatnya, bentuknya dan kadarnya maupun sifat – sifatnya.
D. Nilai tukar barang yang dijual
Syarat – syarat nilai tukar barang yang di jual adalah :
1. Harga jual yang disepakati penjual dan pembeli harus jelas jumlahnya.
2. Nilain tukar barang itu dapat diserahkan pada waktu transaksi jual beli, walaupun secara hukum, misalnya pembayaran menggunakan cek atau kartu kredit.
3. Apabila jual beli dilakukan secara barter, maka nilai tukarnya tidak boleh dengan barang yang haram.
2. Jual Beli Online
Kemajuan teknologi informatika disatu sisi patut kita syukuri tatkala dengannya memudahkan kita dalam urusan ibadah seperti tersebarnya dakwah kepenjuru dunia dalam waktu singkat, walhamdulillah.. Dan tidak terkecuali urusan dunia yang termasuk didalamnya jual beli, turut menjadi lebih mudah.
Bisa dibayangkan bagaimana 'fulanah' yang tinggal di Jakarta misalnya, membeli baju gamis tanpa harus keluar dari rumahnya, tanpa harus naik angkot, tanpa harus berletih-letih, tapi bisa diperoleh dengan kemajuan teknologi tersebut. Walau demikian, bagaimana pandangan syariat atas kemajuan teknologi informatika terhadap transaksi jual beli secara online?!
Ijma' (sepakat) para ulama bahwasanya “Transaksi jual beli yang disyaratkan harus tunai serah terima barang dan uang maka tidak dibenarkan dilakukan secara online via internet, telepon, sms, bbm atau yang sejenisnya”.Contoh: Seorang membeli emas secara online via internet, setelah mentransfer uang. baru kemudian emas tersebut dikirim ke pembelinya. Ini hukumnya tidak sah karena termasuk riba nasi'ah.
Sebagaimana putusan Majma' Al Fiqh Al Islami ( Divisi fiqih OKI) No.52 (3/6) tahun 1990 yang berbunyi, "Apabila akad terjadi antara dua orang yang berjauhan yang tidak berada dalam satu majelis dan masing-masing pelaku transaksi tidak saling melihat dan tidak pula tidak saling mendengar serta media diantara mereka adalah tulisan atau surat atau orang suruhan, hal ini dapat diterapkan juga pada faksmili, teleks dan internet maka akad berlangsung dengan sampainya ijab dan qabul kepada masing-masing pihak yang bertransaksi.
Syarat-syarat mendasar diperbolehkannya jual beli lewat online adalah sebagai berikut:
1. Tidak melanggar ketentuan syari’at Agama, seperti transaksi bisnis yang diharamkan, terjadinya kecurangan, penipuan dan menopoli.
2. Adanya kesepakatan perjanjian diantara dua belah pihak (penjual dan pembeli) jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan antara sepakat (Alimdha’) atau pembatalan (Fasakh). Sebagaimana yang telah diatur didalam Fikih tentang bentuk-bentuk option atau alternative dalam akad jual beli (Alkhiarat) seperti Khiar Almajlis (hak pembatalan di tempat jika terjadi ketidak sesuaian), Khiar Al’aib (hak pembatalan jika terdapat cacat), Khiar As-syarath (hak pembatalan jika tidak memenuhi syarat), Khiar At-Taghrir/Attadlis (hak pembatalan jika terjadi kecurangan), Khiar Alghubun (hak pembatalan jika terjadi penipuan), Khiar Tafriq As-Shafqah (hak pembatalan karena salah satu diantara duabelah pihak terputus sebelum atau sesudah transaksi), Khiar Ar-Rukyah (hak pembatalan adanya kekurangan setelah dilihat) dan Khiar Fawat Alwashaf (hak pembatalan jika tidak sesuai sifatnya).
3. Adanya kontrol, sangsi dan aturan hukum yang tegas dan jelas dari pemerintah (lembaga yang berkompeten) untuk menjamin bolehnya berbisnis yang dilakukan transaksinya melalui online bagi masyarakat. Jika bisnis lewat online tidak sesuai dengan syarat-syarat dan ketentuan yang telah dijelaskan di atas, maka hukumnya adalah “Haram” tidak diperbolehkan.Kemaslahatan dan perlindungan terhadap umat dalam berbisnis dan usaha harus dalam perlindungan negara atau lembaga yang berkompeten.Agar tidak terjadi hal-hal yang membawa kemudratan, penipuan dan kehancuran bagi masyarakat dan negaranya.
Dalam jual beli online barang yang diperjualbelikan tidak disaksikan secara langsung oleh pembeli, maka jual beli seperti ini dinamakan ba'i al ghaib 'alash shifat yakni jual beli barang yang tidak dihadirkan pada majelis akad atau tidak disaksikan secara langsung sekalipun hadir dalam majelis.
Perlu diketahui, bahwa pedagang online dalam praktek berjualan pada situsnya, tergolong diantara 3 status kepemilikan:
1. Pemilik situs adalah pemilik barang
Setelah kita mengetahui bahwasanya akad jual beli yang dilaksanakan dimana fisik barang tidak dapat disaksikan secara langsung melainkan sekedar gambar dan penjelasannya adalah termasuk ba'i al ghaib 'alash shifat, namun perlu diketahui telah terjadi khilaf diantara para ulama tentang sah atau tidaknya ba'i al ghaib 'alash shifat.
Jika anda adalah fanatikus mazhab syafi’i dan konsekuen maka segeralah tutup toko online anda. Kenapa demikian?!Karena mazhab syafi'i menganggap jual beli barang yang tidak disaksikan pada saat akad, sekalipun barang itu ada, hukumnya tidak sah, mereka menganggap ada gharar atau ketidak jelasan dalam akad ini.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: "Pendapat yang kuat dalam mazhab ba'i al ghaib 'alash shifat adalah tidak sah." (Minhajut Thalibin, jilid II hal 12)
Pendapat mereka ini berdalil dengan larangan hadits nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang jual beli gharar”.(Hadits riwayat Imam Muslim)
Akan tetapi jika anda bukanlah fanatikus madzhab syafi'i, maka anda bisa bernafas lega karena mayoritas mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali berpendapat bahwa ba'i al ghaib 'alash shifat adalah sah. Dalilnya adalah:
Firman Allah ta'ala:
ÙˆَØ£َØَÙ„َّ اللَّÙ‡ُ الْبَÙŠْعَ
“Allah telah menghalalkan jual beli”. (Al-Baqarah: 275).
Ba'i Al Ghaib 'Alash Shifat adalah bagian dari jual beli, karena hukum asal jual beli adalah halal dan tidak ada hal-hal yang menyebabkan menjadi haram maka hukumnya tetap berada dalam asalnya yakni halal.
Adapun yang menganggap ba'i al ghaib 'alash shifat adalah tidak jelas alias gharar maka ini tidak benar, karena suatu objek barang dapat menjadi jelas tidak hanya dapat diketahui dengan indera mata (melihat secara langsung) namun bisa juga diketahui dengan indera lain yakni dengan cara penjelasan spesifikasi baik dalam bentuk lisan maupun tulisan.
Perhatikanlah juga bagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
“Janganlah seorang wanita bergaul dengan wanita lain, kemudian ia menjelaskan ciri-ciri tubuh wanita tersebut kepada suaminya, seolah-olah suaminya melihat langsung wanita yang disifati”. (Hadits riwayat Bukhari)
Hadist ini tegas menyatakan sama antara penjelasan melalui kata-kata dengan melihat langsung, sehingga akad jual beli semacam ini jelas tidak ada unsur gharar didalamnya.
Sehingga jelaslah bahwa ba'i al ghaib 'alash shifat adalah halal, dengan catatan bahwa penjelasan kata-kata haruslah jelas seperti ukuran, model maupun warnanya.
2. Pemilik situs adalah agen/perwakilan dari pemilik barang
Terkadang dalam kehidupan berbisnis, masing-masing ada yang dianugerahi kelebihan dan kekurangan, ada orang yang dianugerahi Allah berupa modal (rezeki) namun tidak memiliki keahlian marketing, begitu sebaliknya ada yang diberi keahlian marketing namun tidak memiliki kemampuan produksi, bahkan ada yang memiliki kemampuan produksi namun tidak memiliki modal tidakpula marketing. Hal ini menandakan bahwa kita adalah makhluk sosial yang mana dalam kehidupannya saling membutuhkan satu dengan yang lain.
Berkaitan dengan ini, kita dapatkan dalam praktek jual beli online ada pemilik situs yang tidak memiliki barang namun dia merupakan agen/wakil dari pemilik barang yang aslinya.
Agen atau wakil yang dimaksud adalah izin resmi dari pemilik barang dengan menaruh kepercayaan kepada seseorang untuk membantu memasarkan atau menjual barangnya kemudian tatkala laku, orang tersebut diberi komisi sesuai kesepakatan.Lantas bagaimana hukumnya?
Maka jawabannya agen/wakil itu kedudukannya sama dengan pemilik barang, sehingga jual belinya sah. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: "Aku hendak pergi menuju khaibar, lalu akupun mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, aku mengucapkan salam kepada beliau, aku lantas berkata: "Aku ingin pergi ke Khaibar",. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Bila engkau mendatangi wakilku dikhaibar ambillah darinya 15 wasq (900 sha') kurma! Bila dia meminta bukti (bahwa engkau adalah wakilku) maka letakkanlah tanganmu diatas tulang bawah lehernya”.(Hadits riwayat Abu Dawud, menurut Ibvnu Hajar sanadnya hasan)
3. Pemilik situs bukan pemilik barang bukan pula agen/perwakilan dari pemilik barang.
Para ulama sepakat bahwa tidak sah hukum jual beli jika pemilik situs tidak memiliki barang-barang yang ia tampilkan pada situsnya padahal dia bukanlah sebagai wakil/agen dari pemilik barang yang sebenarnya.
Biasanya salahsatu contoh dalam hal ini adalah apa yang kita kenal dengan istilah jual beli sistem dropship.Apa itu dropship?
Dropship adalah salahsatu bentuk sistem jualan online, dimana buyer (pembeli) membayar suatu produk kepada pihak reseller (penjual online), kemudian pihak reseller membayar kepada dropshipper (produsen) yang tentunya dengan harga lebih murah, lalu pihak dropshipper mengirim produknya kepada pembeli langsung atas nama reseller, sehingga selisih antara harga reseller dan harga dropshipper adalah keuntungan pihak reseller.
Penjelasan antara dropshipper, reseller dan buyer :
1. Dropshipper adalah pihak pemilik barang atau wakil/agen pemilik barang atau bisa juga disebut produsen.
2. Reseller adalah penjual online yang menawarkan barang orang lain kepada para konsumen.
3. Buyer adalah pembeli/pelanggan/konsumen yang membeli barang pihak reseller.
Pihak penjual (reseller) dalam proses penjualan produk bisa dikatakan berada dalam zona aman, tidak ada resiko kerugian yang ditanggung, tidak mengeluarkan modal sedikitpun, bahkan sebagai penjual tidak perlu mengurus pengiriman barang ke pembeli karena pihak dropshipper-lah yang mengurusnya. Reseller hanya menyediakan situs sarana pemasaran seperti membuat toko online sendiri atau buka lapak di kaskus, facebook, dan yang lain sejenisnya.
Akad jual beli seperti ini tidak sah, karena mengandung 2 bentuk gharar:
1. Pihak reseller (penjual online) menjual barang yang bukan miliknya, maka masuk kedalam larangan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Hakim Bin Hizam radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Wahai Rasulullah, seseorang datang kepadaku untuk membeli suatu barang, kebetulan barang tersebut sedang tidak kumiliki, apakah boleh aku menjualnya kemudian aku membeli barang yang diinginkannya dari pasar? Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Jangan engkau menjual barang yang belum engkau miliki". (Hadist riwayat Abu Dawud dan dishahihkan oleh Imam Albani).
2. Pihak reseller yang telah membeli barang kepada dropshiper (produsen) nekad langsung menjual barang tersebut kepada pelanggan yang lain sementara barang yang dibelinya tersebut belum diterima dari dropshipper. Maka hal ini juga termasuk kedalam larangan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Hakim bin Hizam radhiyallahu 'anhu, ia berkata: “Yaa Rasulullah, saya sering melakukan jual beli, apa jual beli yang halal dan haram? Nabi bersabda: "Wahai anak saudaraku, bila engkau membeli sebuah barang janganlah engkau jual sebelum barang tersebut engkau terima. (Hadist riwayat Imam Ahmad, Imam Nawawi menyatakan hadits ini hasan)
Maka solusi dalam hal ini adalah:
Pertama: Memberi layanan pengadaan barang
Relasi yang luas atau kemampuan pengadaan barang yang memadai, memungkinkan Anda menawarkan jasa ke orang lain untuk pengadaan barang yang mereka butuhkan. Anda berhak meminta imbalan, dengan nominal yang jelas dan disepakati di awal akad.Misal, Anda menjadi supplier restoran tertentu untuk kebutuhan barang tertentu.Anda berhak mendapat upah dari restoran tersebut.Pada kasus ini, anda murni menjual jasa kepada klien anda.
Kedua :Menjadi agen atau distributor resmi
Pada posisi ini anda layaknya tangan panjang pemilik barang atau produsen.Karena secara prinsip status anda adalah wakil bagi pemilik barang. Anda bisa melakukan transaksi dengan cara apapun, baik offline atau online, sebagaimana Anda juga dibenarkan untuk menjualnya secara tunai atau secara kredit dengan harga yang Anda tentukan atau sesuai kesepakatan. Tentu saja, untuk bisa menjadi agen, anda harus melalui beberapa tahapan sesuai dengan aturan keagenan yang ditetapkan oleh pemilik barang.Dalil masalah ini adalah hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Kaum muslimin itu sesuai persyaratan yang mereka sepakati.(HR. Bukhari secara muallaq, Abu Daud, Ahmad dan yang lainnya).
Ketiga :Melakukan transaksi salam
Akad salam adalah akad pemesanan suatu barang dengan kriteria yang telah disepakati dan dengan syarat pembayaran harus tunai dan waktu serah terima barangnya harus jelas pada saat akad dilaksanakan.
Ijma' para ulama tentang bolehnya berjual beli dengan sistem akad salam ini. Dan diantara dalil disyari'atkannya akad salam ialah hadits berikut:Dari sahabat Ibnu Abbas radhiallhu 'anhuma, ia berkata: "Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di kota Madinah, sedangkan penduduk Madinah telah biasa memesan buah kurma dalam tempo waktu dua tahun dan tiga tahun, maka beliau bersabda: '"Barang siapa yang memesan sesuatu, maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang telah diketahui kedua belah pihak dan dalam timbangan yang telah diketahui kedua belah pihak, serta dalam tempo yang telah diketahui kedua belah pihak pula. (Muttafaqun 'alaih)
Mungkin ada yang mempertanyakan, apa yang membedakan akad salam dengan sistem dropshipping yang lazim dilakukan? Pada transaksi salam terdapat syarat-syarat yang harus dijalankan masing-masing pihak penjual (reseller) dan pembeli. Dan juga pihak reseller harus membeli obyek transaksi itu dari pemilik barang secara sempurna, sampai terjadi serah terima. Artinya barang sudah berpindah tangan ke pihak reseller kemudian barulah reseller sendiri yang mengirim barang ke buyer atas nama dirinya. Dalil hal ini adalah hadis dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu 'anhu,
Ø¥ِÙ„َÙ‰ Ø±ØØ§Ù„هم Ù†َÙ‡َÙ‰ رَسُولُ اللَّÙ‡ِ صَÙ„َّÙ‰ اللَّÙ‡ُ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ ÙˆَسَÙ„َّÙ…َ Ø£َÙ†ْ تُبَاعَ السِّÙ„َعُ ØَÙŠْØ«ُ تُبْتَاعُ ØَتَّÙ‰ ÙŠَØُوزَÙ‡َا التُّجَّارُ
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menjual barang di tempat dia membeli barang tersebut, sampai para pedagang memindahkan barang itu ke tempatnya sendiri”.(HR. Abu Daud, Ibn Hibban dan dihasankan Al-Albani)
3. Adat/’Urf/Ta’ammul
Secara terminologis adat/’urf/ta’ammul adalah segala sesuatu yang biasa dijalankan orang pada umumnya, baik perbuatan ataupun perkataan.
Syarat penggunaan adat kebiasaan :
1. Tidak bertentangan dengan nash, baik al-Qur’an maupun as-Sunnah.
2. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan kemaslahatan termasuk di dalamnya tidak memberi kesempitan dan kesulitan.
3. Telah berlaku pada umumnya kaum muslimin, dalam arti bukan hanya yang biasa dilakukan oleh beberapa orang Islam saja.
4. Tidak berlaku di dalam masalah ibadah madhlah.
4. Hubungan antara jual beli online dengan adat/’urf/ta’ammul
Jual beli online yang sedang marak-maraknya di era modern ini, tentu saja ada hubungannya dengan adat/’urf/ta’ammul. Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa jual beli online tidak sah karena barang yang akan dijual tidak ada/ghaib. Tetapi menurut Madzhab Maliki, Hanbali dan Hanafi hal ini diperbolehkan karena sudah menjadi suatu kebisaan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Istihsan adalah mengeluarkan hukum sesuatu dengan menggunakan dalil baru yang dihasilkan melalui penelaahan mendalam terhadap dalil yang digunakan sebelumnya karena adanya unsur-unsur dhorurah yang menyangkut kepentingan umum serta dengan mempertimbangkan hal-hal baik yang ada di dalamnya.
2. Istihsan dengan segala bentuknya adalah mengalihkan ketentuan hukum syara’ dari yang berdasarkan suatu dalil syara’ kepada hukum lain yang didasarkan kepada dalil syara’ yang lebih kuat. karena prinsip ini yang menjadi substansi istihsan, maka pada hakikatnya tidak ada seorang ulama’pun yang menolak keberadaan istihsan sebagai dalil syara’.
3. Keberadaan istihsan sangat penting untuk mengawal laju perkemabangan yang sangat cepat ini. Tentunya dibutuhkan teori-teori istihsan yang tidak jumud, dengan artian istihsan juga harus ikut memiliki perkembangan dalam membaca situasi kehidupan yang mencakup segala sisi (sosial,ekonomi, politik dan sebagainya). Maka pengembangan konsep istihsan adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi.
4. Jual beli online menurut istihsan diperbolehkan karena merupakan suatu adat/kebiasaan.
B. Saran
Kami menyadari dalam penyusunan dan penjelasan yang ada di dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan, untuk itu kami menyarankan untuk dilakukan suatu pengkajian yang lebih mendalam mengenai materi ini.Dan demi perbaikan makalah kami selanjutnya kami mohon saran dan ktitik pembaca yang tentunya membangun.Demikianlah hasil karya tulis kami yang terangkum dalam suatu makalah semoga bermanfaat dan akhirnya kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin, Amir. 2001. UshulFiqhJilid 2. Logos WacanaIlmu : Jakarta
Djazuli, Ahmad. 2005. IlmuFiqh. KencanaPrenada Media Group : Jakarta
Hanafie, Ahmad. 1957. UshulFiqh. Widjaya : Jakarta
Abdul Madjid, Ahmad. 1994. Ushul Fiqih. Garoeda Buana Indah : Jawa Timur
http://rahmathariry.blogspot.com/2012/02/istihsan-makalah.html
http://dewamakalah.blogspot.com/2013/03/macam-rukun-dan-syarat-jual-beli.html
http://muslim.or.id/uncategorized/jual-beli-dan-syarat-syaratnya.html/comment-page-1
http://www.khodeejahboutique.com/2013/01/hukum-jual-beli-online-via-internet-bbm.html
Posting Komentar untuk "ISTIHSAN"