METODE BELAJAR PERSPEKTIF AL-QURAN
METODE BELAJAR
PERSPEKTIF AL-QURAN
Disusun untuk Memenuhi
Tugas dan Bahan Diskusi Mata Kuliah Tafsir Tarbawi yang Diampuh oleh Bpk Drs. A F Djunaidi
M.Ag.

Disusun oleh :
Ifa Maulia Khoirunnisa
(12422045)
Andi Musthafa Husain
(13422004)
Prodi Pendidikan Agama
Islam
Fakultas Ilmu Agama
Islam
UNIVERSITAS ISLAM
INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata
didik yang diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan prilaku seseorang atau
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik (memelihara dan memberi latihan
(ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran).
Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan manusia, sampai manusia itu meninggal dunia. Dalam pengertian yang
sederhana dan umum makna pendidikan sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan
mengembangkan potensi-potensi bawaan, baik jasmani maupun rohani sesuai dengan
nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan. Sedangkan menurut
John Dewey sebagaimana dikutip dalam Jalaluddin, bahwa pendidikan sebagai salah
satu kebutuhan, fungsi sosial, sebagai bimbingan, sarana pertumbuhan yang
mempersiapkan dan membukakan serta membentuk disiplin hidup.
Dalam hubungan ini, Al-Syaibani menjelaskan bahwa pendidikan adalah
usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya sebagai bagian
dari kehidupan mayarakat dan kehidupan alam sekitarnya.
Lebih lanjut, Poerwakawatja menguraikan bahwa pendidikan dalam arti
yang luas adalah semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan
pengetahuan, pengalaman, kecakapan, dan keterampilannya kepada generasi muda
agar dapat memahami fungsi hidupnya, baik jasmani maupun rohani.
Menurut Muhibbin Syah, pendidikan adalah usaha sadar untuk menumbuh
kembangkan potensi sumber daya manusia (SDM) melalui kegiatan
pengajaran. Dalam perspektif ini, maka pendidikan tidak dapat dilepaskan
dari belajar. Tentunya yang dimaksud adalah belajar dalam makna yang umum,
bukan hanya dalam makna yang keliru sebagimana anggapan “sekolah adalah
satu-satunya tempat belajar dan riwayat pendidikan diartikan sebagai riwayat
bersekolah.”
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan
merupakan kebutuhan manusia yang bersifat urgen, terdapat suatu
proses transformasi pengetahuan, pengalaman, kecakapan, dan keterampilan
oleh pendidik kepada peserta didik sehingga terjadi perubahan dan perkembangan
peserta didik ke arah positif, baik dalam aspek kognitif, afektif, maupun
psikomotorik.
Secara umum, upaya pendidikan ini dimaksudkan agar dapat
meningkatkan kedewasaannya dan kemampuan anak untuk dapat memikul tanggung
jawab moral dari segala perbuatannya. Adapun tujuan pendidikan nasional
sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3 adalah untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Agar tujuan pendidikan dimaksud dapat tercapai sesuai harapan, maka
dalam proses pendidikan terdapat sistem yang tidak dapat dipisahkan satu dengan
yang lainnya. Apabila sistem ini baik, maka kualitas dan hasil pendidikan akan
baik. Salah satu diantara sistem tersebut adalah metode pendidikan, di samping
guru, peserta didik, kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan, dan lain
sebagainya.
Metode dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai cara
yang teratur berdasarkan pemikiran yang matang untuk mencapai maksud (dalam
ilmu pengetahuan dsb); cara kerja yang teratur dan bersistem untuk dapat
melaksanakan suatu kegiatan dengan mudah guna mencapai maksud yang ditentukan.
Metode dalam hal ini sebagai sarana untuk mencapai tujuan
pendidikan yang dikehendaki dan telah dirumuskan sebelumnya. Dengan kata lain,
metode pendidikan dapat berubah sesuai kebutuhan dan tujuan yang menjadi
sasaran dalam pencapaian pendidikan yang ditempuh.
Dalam sebuah sya’ir dikatakan “al-Thoriqatu ahammu min
al-mâddah,” maksudnya adalah metode itu “dianggap” lebih penting dari pada
penguasaan materi. Rasionalisasi dari pernyataan tersebut adalah apabila
seorang pendidik menguasai banyak materi namun tidak memahami bagaimana materi
tersebut bisa disampaikan dengan baik ke pada peserta didik (tidak menguasai
metode), maka proses transformasi pengetahuan sulit tercapai. Sebaliknya
apabila seorang pendidik hanya menguasai sejumlah atau sedikit materi, tetapi
menguasai berbagai macam metode pendidikan, maka dimungkinkan peserta didik
akan mampu memahami materi yang ingin disampaikan dalam proses pendidikan.
Memperhatikan betapa pentingnya peranan metode terhadap kesuksesan
proses pendidikan, begitu banyak bermunculan metode sebagai bagian dari
pemahaman terhadap konteks di atas. Beberapa metode yang tidak asing lagi
seperti ceramah, diskusi, penugasan, demontrasi, dan lain sebagainya.
Namun begitu, kebanyakan dari metode yang ada hingga saat ini
adalah berasal dari kajian yang bersumber dari pemikiran manusia saja terhadap
gejala yang timbul saat itu. Untuk itulah, dibutuhkan sumber lain sebagai
sarana dalam upaya menemukan metode yang tepat untuk menjawab masalah dan tantangan
pendidikan Indonesia yang timbul saat ini.
Sebut saja peserta didik hasil pendidikan yang merupakan produk
lembaga pendidikan sekarang, banyak yang bertindak dan berperilaku menyimpang,
seperti maraknya perzinaan dan peredaran video porno yang pemerannya adalah
peserta didik di tingkat menengah bahkan perguruan tinggi, tawuran antar
pelajar/mahasiswa, dan masih banyak lagi kasus lain serupa.
Selain kasus tersebut, masih banyak lagi objek yang dapat dijadikan
kajian dalam menghasilkan suatu metode pendidikan yang tepat untuk menjawab
tantangan zaman. Salah satunya adalah Al-Quran, yang merupakan kitab suci
pedoman hidup bagi manusia, Allah SWT berfirman:
Artinya: “Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan
padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah: 2).
Artinya: “Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan
petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus….” (QS. Al-Isra’: 9).
Artinya: “dan Apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya
Kami telah menurunkan kepadamu Al-kitab (Al-Quran) sedang Dia dibacakan kepada
mereka? Sesungguhnya dalam (Al-Quran) itu terdapat rahmat yang besar dan
pelajaran bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Ankabut: 51).
Artinya: “Allah berfirman: “Turunlah kamu berdua
dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain.
Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut
petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (QS. Thaha: 123).
Artinya: “dan Kami turunkan kepadamu Al-kitab (Al-Quran) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi
orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Nahl: 89).
Serta masih banyak lagi nash, baik Al-Quran, maupun hadits yang
mejelaskan hal tersebut. Maka tidak pelak lagi, Al-Quran mutlak menjadi sumber
utama sebagai rujukan dalam mengarungi kehidupan ini, termasuk salah satunya
adalah sebagai pedoman dalam bidang pendidikan.
Begitu banyak ayat dalam Al-Quran yang bertemakan tentang
pendidikan, bahkan ayat yang pertama kali diwahyukan Allah SWT kepada Rasulallah
SAW adalah perintah “iqra’” yang dapat diartikan dengan bacalah,
belajarlah, perhatikanlah, dan lain sebagainya.
BAB II
PEMBAHASAN
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ
الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ
بِمَنْ ضَلَّ عَنْ
سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِين
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (An-Nahl;125)
A.
Mufrodat
ادْعُ = Serulah (manusia)
إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ = kepada jalan Tuhanmu
بِالْحِكْمَةِ =
dengan hikmah
وَالْمَوْعِظَةالْحَسَنَةِ =
dan pelajaran yang baik
وَجَادِلْهُمْ =
bantahlah mereka
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ =
dengan cara yang baik
إِنَّ رَبَّكَ =
Sesungguhnya Tuhanmu
هُوَ أَعْلَمُ =
Dialah yang lebih mengetahui
بِمَنْ ضَلَّ =
tentang siapa yang tersesat
عَنْ سَبِيلِهِ =
dari jalan-Nya
وَهُوَ أَعْلَمُ =
Dialah yang lebih mengetahui
بِالْمُهْتَدِينَ =
orang-orang yang mendapat petunjuk.
B.
Artinya
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
C.
Makna Umum
Makna umum dari ayat ini bahwa nabi diperintahkan untuk mengajak
kepada umat manusia dengan cara-cara yang telah menjadi tuntunan Al-Qur’an
yaitu dengan cara Al-hikmah, Mauidhoh Hasanah, dan Mujadalah. Dengan cara ini
nabi sebagai rasul telah berhasil mengajak umatnya dengan penuh kesadaran.
Ketiga metode ini telah mengilhami berbagai metode penyebaran Islam maupun
dalam konteks pendidikan.
Proses serta metode
pembelajaran dan pengajaran yang berorientasi filsafat lebah (An-Nahl) berarti
membangun suatu sistem yang kuat dengan “jaring-jaring” (networking) yang
menyebar ke segala penjuru. Analogi ini bisa menyeluruh ke peserta didik, guru,
kepala sekolah, wali murid, komite sekolah dan instasi lain yang terkait. Sehingga
menjadi komponen pendidikan yang utuh, menjadi satu sistem yang tidak bisa
dipisahkan satu dengan yang lain.
D.
Sababun Nuzul
Para mufasir berbeda pendapat seputar sabab
an-nuzul (latar belakang turunnya) ayat ini. Al-Wahidi menerangkan bahwa
ayat ini turun setelah Rasulullah SAW. menyaksikan jenazah 70 sahabat yang
syahid dalam Perang Uhud, termasuk Hamzah, paman Rasulallah. Al-Qurthubi
menyatakan bahwa ayat ini turun di Makkah ketika adanya perintah kepada
Rasulallah SAW, untuk melakukan gencatan senjata (muhadanah) dengan pihak
Quraisy. Akan tetapi, Ibn Katsir tidak menjelaskan adanya riwayat yang menjadi
sebab turunnyaayat tersebut.
Meskipun demikian, ayat ini tetap berlaku umum untuk sasaran dakwah
siapa saja, Muslim ataupun kafir, dan tidak hanya berlaku khusus sesuai
dengan sabab an-nuzul-nya (andaikata ada sabab an-nuzul-nya). Sebab,
ungkapan yang ada memberikan pengertian umum. Ini berdasarkan kaidah ushul:
أَنَّ الْعِبْرَةَ لِعُمُومِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوصِ السَّبَب
Artinya: “Yang menjadi patokan adalah keumuman
ungkapan, bukan kekhususan sebab.”
Setelah kata ud‘u (serulah) tidak disebutkan siapa obyek
(maf‘ûl bih)-nya. Ini adalahuslub (gaya pengungkapan) bahasa Arab yang
memberikan pengertian umum (li at-ta’mîm). Dari segi siapa yang berdakwah, ayat
ini juga berlaku umum. Meski ayat ini adalah perintah Allah SWT kepada
Rasulallah SAW, perintah ini juga berlaku untuk umat Islam.
E.
Kandungan Surat An-Nahl Ayat 125
Pada awalnya ayat ini berkaitan dengan dakwah Rasulullah SAW.
Kalimat yang digunakan adalah fi’il amr “ud’u” (asal kata dari
da’a-yad’u-da’watan) yang artinya mengajak, menyeru, memanggil. Dalam kajian
ilmu dakwah maka ada prinsip-prinsip dalam menggunakan metode dakwah yang
meliputi hikmah, mauizhah hasanah, mujadalah. Metode ini menyebar menjadi
prinsip dari berbagai sistem, berbagai metode termasuk komunikasi juga
pendidikan. Seluruh dakwah, komunikasi dan pendidikan biasanya merujuk dan
bersumber pada ayat ini sebagai prinsip dasar sehingga terkenal menjadi sebuah
“metode”.
Dalam tafsir Jalâlain, Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan
Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar As-Suyuti menafsirkan ayat ini dengan:
{ادع}
الناس يا محمد صلى الله عليه وسلم {إلى سَبِيلِ رَبّكَ} دينه {بالحكمة} بالقرآن
{والموعظة الحسنة} مواعظة أو القول الرقيق {وجادلهم بالتى} أي المجادلة التي {هِىَ
أَحْسَنُ} كالدعاء إلى الله بآياته والدعاء إلى حججه {إِنَّ رَّبَّكَ هُوَ
أَعْلَمُ} أي عالم {بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بالمهتدين}
فيجازيهم، وهذا قبل الأمر بالقتال . ونزل لما قتل حمزة
Artinya: “(Serulah) manusia, wahai Muhammad (ke jalan Tuhanmu)
yaitu, agama-Nya (dengan hikmah) dengan al-Quran dan (nasihat yang baik) yakni
nasihat-nasihat atau perkataan yang halus (dan debatlah mereka dengan) debat
(yang terbaik) seperti menyeru manusia kepada Allah dengan ayat-ayat-Nya dan
menyeru manusia kepada hujah.
Sementara itu, Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menafsirkan
surat An-Nahl: 125 dengan:
“Wahai nabi Muhammad, serulah, yakni lanjutkan usahamu
untuk menyeru semua yang engkau sanggup seru, kepada jalan yang
ditunjukkan Tuhanmu, yakni ajaran Islam, dengan hikmah dan
pengajaran yang baik dan bantahlah mereka, yakni siapa pun yang
menolak atau meragukan ajaran Islam, dengan cara yang terbaik.Itulah
tiga cara berdakwah yang hendaknya engkau tempuh menghadapi manusia yang
beraneka ragam peringkat dan kecenderungannya; jangan hiraukan cemoohan, atau
tuduhan-tuduhan tidak berdasar kaum musyrikin, dan serahkan urusanmu dan urusan
mereka pada Allah karena sesungguhnya Tuhanmu yang selalu membimbing
dan berbuat baik kepadamu Dia-lah sendiri yang lebih
mengetahuidari siapa pun yang menduga tahu tentang siapa
yang bejat jiwanya sehinggatersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah saja
juga yang lebih mengetahui orang-orang yang sehat jiwanya
sehingga mendapatkan petunjuk.
Ayat ini dipahami oleh sementara ulama sebagai menjelaskan tiga
macam metode dakwah yang harus disesuaikan dengan sasaran dakwah. Terhadap
cendekiawan yang memiliki pengetahuan tinggi diperintahkan menyampaikan dakwah
denganhikmah, yakni berdialog dengan kata-kata bijak sesuai dengan tingkat
kepandaian mereka. Terhadap kaum awam diperintahkan untuk
menerapkan mauizhah, yakni memberikan nasihat dan perumpamaan yang
menyentuh jiwa sesuai dengan taraf pengetahuan mereka yang sederhana. Sedang, terhadap Ahl
al-Kitab dan penganut agama-agama lain, yang diperintahkan
adalah jidâl/perdebatan dengan cara yang terbaik, yaitu dengan logika
dan retorika yang halus, lepas dari kekerasan dan umpatan.
Dalam konteks Surat An-Nahl ayat 125 ini, amatlah wajar kalau para
ulama dan mufassir mengkategorikannya sebagai ayat yang erat kaitannya dengan
dakwah. Bahkan permulaan ayat ini sendiri diawali dengan
kata ud’u yang berasal dari katada’a—yad’u yang membentuk
kata da’watan (da’wah) sebagai masdarnya. Yang dalam Kamus Besar
bahasa Indonesia berarti penyiaran; propaganda;penyiaran agama di kalangan
masyarakat dan pengembangannya; seruan untuk memeluk, mempelajari, dan
mengamalkan ajaran agama.
Agar tidak terjadi salah persepsi mengkontekstualisasikan makna
yang tersirat dalam Surat An-Nahl ayat 125 dalam konteks pendidikan, maka
menjadi penting untuk memahami dan mempertemukan dakwah dan pendidikan
berdasarkan definisinya.
Taufiq al-Wa’i menjelaskan, dakwah ialah mengumpulkan manusia dalam
kebaikan, menunjukkan mereka jalan yang benar dengan cara
merealisasikan manhaj Allah di bumi dalam ucapan dan amalan, menyeru
kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, membimbing mereka
kepada siratal mustaqim dan bersabar menghadapi ujian yang
menghadang diperjalanan.
Dakwah menurut Pimpinan Pusat Muhammadiyah adalah sebagai wujud
menyeru dan membawa umat manusia ke jalan Allah, dengan mengajak kepada
kebaikan(amru bil ma’ruf), mencegah kemunkaran (nahyu ‘anil munkar), dan
mengajak untuk beriman (tu’minuna billah) guna terwujudnya umat yang
sebaik-baiknya.
Jamaluddin Kafie berpendapat, bahwa dakwah adalah suatu sistem
kegiatan dari seseorang, sekelompok, segolongan ummat Islam sebagai aktualisasi
imaniyah yang dimanifestasikan dalam bentuk seruan, ajakan, panggilan,
undangan, dan do’a yang disampaikan dengan ikhlash dan menggunakan metode,
sistem, dan teknik tertentu agar mampu menyentuh qolbu dan fitrah
seseorang, keluarga, kelompok, massa, dan masyarakat manusia supaya dapat
mempengaruhi tingkah lakunya untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Mansur Amin memberikan definisi dakwah sebagai suatu aktifitas yang
mendorong manusia untuk memeluk agama Islam melalui cara yang bijaksana,
dengan materi ajaran Islam, agar mereka mendapat kesejahteraan kini (dunia) dan
kebahagiaan nanti (akhirat).
Adapun definisi pendidikan menurut John Dewey sebagaimana dikutip
dalam Jalaluddin, bahwa pendidikan sebagai salah satu kebutuhan, fungsi sosial,
sebagai bimbingan, sarana pertumbuhan yang mempersiapkan dan membukakan serta
membentuk disiplin hidup.
Selanjutnya Al-Syaibani menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha
mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya sebagai bagian dari
kehidupan mayarakat dan kehidupan alam sekitarnya.
Lebih lanjut, Poerwakawatja menguraikan bahwa pendidikan dalam arti
yang luas adalah semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan
pengetahuan, pengalaman, kecakapan, dan keterampilannya kepada generasi muda
agar dapat memahami fungsi hidupnya, baik jasmani maupun rohani.
Dari beberapa definisi mengenai dakwah dan pendidikan di atas dapat
disimpulkan bahwa dalam proses dakwah dan pendidikan terdapat kesamaan dalam
masing-masing komponennya. Sehingga metode yang menjadi sarana dakwah ini juga
dapat diterapkan dalam dunia pendidikan.
Kesamaan tersebut yang pertama, yaitu adanya subjek. Dalam konteks
dakwah disebut da’i, sedangkan dalam konteks pendidikan disebut pendidik
atau guru. Kemudian, kedua adanya objek, dalam perspektif dakwah
disebut mad’u, sedangkan dalam perspektif pendidikan disebut peserta
didik atau siswa/murid.
Kemudian komponen ketiga adalah adanya materi, hanya saja
materi dakwah lebih terfokus pada ilmu agama. Sedangkan materi pendidikan lebih
luas dari itu, tidak hanya menyangkut ilmu agama saja, melainkan juga ilmu-ilmu
yang lain, seperti ekonomi, kewarganegaraan, fisika dan lain sebagainya.
Adapun komponen keempat, yaitu adanya tujuan yang hendak
dicapai, yaitu perubahan ke arah yang positif (perubahan Jasmani maupun rohani)
terhadap objek (mad’u atau peserta didik) sasarannya, melalui transformasi
ilmu pengetahuan dan nilai-nilai atau ajaran-ajaran yang disampaikan melalui
aktifitas dan prosesnya masing-masing. Sehingga objek (mad’u atau peserta
didik) tersebut menjadi manusia yang lebih baik dan sempurna serta bertakwa
kepada Allah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pendidikan merupakan kebutuhan manusia yang bersifat urgen, yaitu
suatu proses perkembangan yang bertujuan. Adapun tujuan dari perkembangan itu
secara alamiah ialah kedewasaan, kematangan dari kepribadian manusia melalui
transformasi pengetahuan, pengalaman, kecakapan, dan keterampilan oleh pendidik
kepada peserta didik sehingga terjadi perubahan dan perkembangan peserta didik
ke arah positif, baik dalam aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Melalui pendidikan inilah manusia dapat berperan sesuai dengan fitrah
penciptannya.
Dalam proses pendidikan ini, terdapat sistem yang saling berkaitan
dan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Salah satu sistem dimaksud yang
sangat berperan adalah metode. Untuk itulah, berbagai usaha terus dilakukan
dalam rangka menemukan metode yang tepat. Sebab, penggunaan metode yang tepat
dimungkinkan akan mempercepat dan mempermudah penerimaan nilai pendidikan.
Terdapat tiga metode pendidikan yang terkandung dalam Surat An-Nahl
ayat 125, pertama hikmah berupa penyampaian materi pendidikan dengan
perkataan yang lemah lembut namun tegas dan benar berdasarkan ilmu melalui
argumentasi yang dapat diterima oleh akal dengan dialog menggunakan kata-kata
bijak sesuai dengan tingkat kepandaian dan bahasa yang dikuasai peserta didik,
kedua mauizhah hasanah yaitu nasihat/pelajaran yang ditujukan kepada akal
untuk dipahami, juga ditujukan kepada perasaan peserta didik dengan maksud
untuk memberikan kenyamanan, kepuasan dan keyakinan di dalam hati, juga
mengandung makna kesesuaian antara perbuatan dan perkataan (pelajaran dengan
metode keteladanan), dan ketiga jidâl/diskusi yang untuk
bertujuan menemukan kebenaran, memfokuskan diri pada pokok permasalahan.
Menggunakan akal sehat dan jernih, menghargai pendapat orang lain, memahami
tema pembahasan, antusias, mengungkapkan dengan baik, dengan santun, dapat
mewujudkan suasana yang nyaman dan santai untuk mencapai kebenaran serta
memuaskan semua pihak.
Posting Komentar untuk "METODE BELAJAR PERSPEKTIF AL-QURAN"