Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

PERUBAHAN SISTEM UROGENITAL PADA MASA MENOPAUSE

 

PERUBAHAN SISTEM UROGENITAL PADA MASA MENOPAUSE

 




















Referat Endokrin I

 

Oleh                : dr. D. Sartika Sari H.

Pembimbing   : dr. H. Zain Alkaff, Sp.OG

 

Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi FK UGM/RSUP DR. Sardjito Yogyakarta

 


ABSTRAK

 

Latar belakang: Pada tahun 2000 diperkirakan usia harapan hidup wanita Indonesia adalah 70 tahun. Usia rata-rata wanita mengalami menopause yaitu 47-48 tahun, maka wanita tersebut akan mengalami pasca menopause selama 22-23 tahun dan selama itu pula mengalami kekurangan hormon estrogen. Salah satu gejala kekurangan hormon estrogen yaitu gangguan urogenital dan umumnya gejala ini muncul setelah 4-5 tahun setelah tidak haid.

Tinjauan Pustaka: Studi kepustakaan

Ringkasan: Secara embriologis, traktus urinarius dan genitalis berkembang dari sinus urogenitalis. Secara fisiologis, efek menopause pada traktus urinarius mempunyai kesamaan dengan traktus genitalis. Setelah menopause kadar estrogen rendah sehingga menyebabkan atropi mukosa vagina, urethra dan vesika urinaria. Pada traktur urinarius selain pengaruh kadar estrogen yang rendah juga terjadi pengurangan koaptasi mukosa urethra dan terjadi penurunan elastisitas jaringan ikat. Perubahan-perubahan ini paling sering menimbulkan gejala inkontinensia urin. Sedangkan pada traktus genitalis menyebabkan atropi mukosa vagina yang akibatkan meningkatnya pH vagina, perubahan flora normal vagina, dan  terjadi kolonisasi bakteri yang patogen seperti Escherichia coli.

Simpulan: Terapi  non operatif untuk penanganan berbagai bentuk inkontinensia adalah pemberian terapi hormonal dengan estrogen, yang dapat diberikan per oral atau lokal, selain itu dapat digunakan sebagai terapi profilaksi untuk infeksi traktus urinarius yang rekuren pada wanita pasca menopause dengan atrofi urogenital. 

Kata kunci: Menopause, perubahan sistem urogenital

 

 

Pendahuluan

Pada tahun 2000 diperkirakan usia harapan hidup wanita Indonesia adalah 70 tahun. Usia rata-rata wanita mengalami menopause yaitu 47-48 tahun, maka wanita tersebut akan mengalami pasca menopause selama 22-23 tahun dan selama itu pula mengalami kekurangan hormon estrogen. Salah satu gejala kekurangan hormon estrogen yaitu gangguan urogenital dan umumnya gejala ini muncul setelah 4-5 tahun setelah tidak haid.1

 

Anatomi dan Fisiologi Traktus Urinarius Bagian Bawah

            Secara embriologis, traktus urinarius dan genitalis berkembang dari sinus urogenitalis. Secara fisiologis, efek menopause pada traktus urinarius mempunyai kesamaan dengan traktus genitalis. Setelah menopause terjadi penurunan kadar estrogen sehingga mengakibatkan perubahan baik pada traktus urinarius bagian bawah maupun traktus genitalis. Perubahan pada traktus urinarius bagian bawah, antara lain: terjadi penipisan epitel urethra dan epitel transisional vesika urinaria, terjadi pengurangan koaptasi mukosa urethra, menurunnya elastisitas jaringan ikat urethra, dan terjadi atrofi otot-otot yang berstria. Sedangkan perubahan yang terjadi pada traktus genitalis, antara lain: terjadi perubahan flora normal vagina, terjadi kolonisasi bakteri yang patogen seperti Escherichia coli, dan meningkatnya pH vagina.1,2

            Perubahan-perubahan pada traktus urinarius bagian bawah sering akibatkan infeksi traktus urinarius baik yang simptomatis maupun asimptomatis. Gejala yang sering muncul, antara lain: uretritis dengan disuria, urge incontinence dan polakisuria.1,2

 

Mekanisme Kontinensia

            Agar traktus urinarius dapat dikendalikan (kontinensia), tekanan urethra harus lebih besar daripada tekanan vesika urinaria setiap saat kecuali saat miksi. Tekanan penutupan urethra yang positif dihasilkan oleh empat lapisan urethra, yaitu epitel, jaringan ikat, jaringan vaskuler dan otot. Semua lapisan tersebut dipengaruhi oleh estrogen. Kolagen merupakan struktur protein yang utama pada jaringan ikat urethra. Kolagen diproduksi oleh fibroblas yang juga  mempunyai reseptor estrogen.2

            Traktus urinarius bagian bawah berfungsi untuk menyimpan dan mengeluarkan urin. Agar berfungsi normal, vesika urinaria harus berakomodasi. Selama fase penyimpanan (storage), tekanan sphingter urethra harus lebih besar daripada tekanan vesika urinaria. Gangguan fase ini akan menyebabkan gejala urgency, frequency dan inkontinensia urin. Fase pengeluaran (evakuasi) tergantung pada perasaan ingin miksi, adanya kontraksi detrusor dan relaksasi sphingter urethra. Gangguan fase ini akan menyebabkan terdapatnya residu urin setelah miksi dan terjadi dekompensasi fungsi detrusor dan traktus urinarius  bagian atas.2

            Vesika urinaria dan sphingter urethra diinervasi oleh sistem saraf sentral dan perifer. Vesika urinaria terutama dipengaruhi oleh saraf parasimpatis, sedangkan sphingter urethra oleh simpatis, terutama oleh reseptor adrenergik alfa yang ada di leher vesika urinaria. 1,2

 

 

Tipe dan Mekanisme Inkontinensia Urin

            Vesika urinaria dan urethra pada wanita berada dibawah pengaruh hormon estrogen sehingga apabila terjadi kekurangan estrogen akan menimbulkan berbagai gangguan. Pada pemeriksaan dengan tonometri terbukti bahwa pada fase folikuler (estrogen tinggi) tonus detrusor lebih tinggi dibandingkan pengaruh progesterone (fase luteal). 1

            Jenis inkontinensia yang paling sering dijumpai adalah stress incontinence dan urge incontinence. Bila kedua bentuk ini muncul setelah menopause, maka estrogen diduga ikut berperan terhadap kejadian inkontinensia tersebut. 1,2,3

            Inkontinensia dibedakan inkontinensia pasif yang ditandai dengan rendahnya kemampuan menutup vesika urinaria (stress incontinence) dengan inkontinensia aktif yang ditandai dengan detrusor yang sangat aktif (urge incontinence). Pada inkontinensia pasif, tekanan vesika urinaria normal sedangkan tekanan urethra berkurang. Pada inkontinensia aktif, tekanan vesika urinaria meningkat, sedangkan tekanan urethra normal. Pada 20% wanita ditemukan bentuk pasif dan aktif. Pada 2/3 kasus, inkontinensia disertai gejala ‘iritabel vesika’. Stress incontinence lebih sering dijumpai (66%) dibandingkan urge incontinence (15%). Faktor psikis juga sangat berperan pada kejadian inkontinensia. 2,3

 

Stress Incontinence

            Sering dijumpai pada wanita pasca menopause. Beberapa faktor predisposisi yang berperan untuk terjadinya stress inkontinensia adalah kegemukan, bronchitis kronis, kerja berat, atau operasi berulang yang menyebabkan urethra menjadi kaku. Stress incontinence termasuk inkontinensia pasif, pengeluaran kencing terjadi tanpa ada perasaan ingin berkemih/miksi dan tanpa kontraksi detrusor. Penyebabnya adalah penutupan vesika yang kurang, sehingga urethra tidak dapat menahan tekanan vesika yang meningkat. Profil tekanan berpindah ke vesika. Apabila terjadi inkontinensia total, maka kencing akan menetes terus-menerus tanpa ada sisa/residu urin di vesika. Peningkatan tekanan intra abdominal yang mendadak menyebabkan tekanan hidrostatik vesika meningkat, sehingga otot spingter tidak mampu lagi menutup.

            Stress incontinence dapat dibagi menjadi tiga derajat yaitu:

-         derajat I     : urin keluar pada saat terjadi batuk, bersin, tertawa

-         derajat II    : urin keluar pada saat berjalan, mengangkat yang berat atau loncat

-         derajat III  : urin keluar saat berdiri, berjalan akan tetapi tidak pada saat berbaring

Penyebab inkontinensia adalah melemahnya otot dasar panggul sebagai alat penyangga urethra dan vesika urinaria. Selain itu karena hilangnya tonus jaringan kavernosus urethra dan otot urethra akibat kekurangan estrogen. Dengan pemeriksaan sitologi urethra dapat dibuktikan pengaruh estrogen terhadap urethra, terutama pada wanita 45 tahun keatas akibat kekurangan estrogen.

Estrogen memiliki pengaruh terhadap adrenergis alfa di leher vesika, sehingga pemberian obat adrenergis beta, penghambat adrenergis alfa atau obat psikofarmaka tertentu akan mempengaruhi penutupan vesika. 1,3

Urge  Incontinence

            Urge incontinence merupakan iritabel vesika yang berat, yang ditandai dengan perasaan ingin berkemih yang hebat. Inkontinensia ini termasuk inkontinensia aktif, dimana kapasitas urin tidak terganggu, tetapi sensitivitas dan rangsangan detrusor meningkat. Tonus vesika urinaria sering meningkat, normal atau rendah. Rangsangan yang ringan, misalnya peningkatan tekanan intra abdominal saat batuk, tertawa, perubahan posisi akan menyebabkan kontraksi detrusor sehingga timbul perasaan ingin berkemih yang tak tertahankan. Akibatnya terjadi pengeluaran urin dalam jumlah yang besar (50-100 ml). Pada keadaan seperti ini terjadi hiperefleksi, dimana terjadi penurunan kapasitas vesika, rasa ingin berkemih yang lebih cepat dan terjadi kontraksi detrusor secara spontan. Kegemukan dapat menyebabkan inkontinensia ini karena dapat menimbulkan tekanan intra abdominal yang berlebihan. Untuk membedakan dengan stress incontinence perlu dilakukan pengukuran tekanan. 1,3

Iritabel Vesika

            Iritabel vesika merupakan gejala berupa meningkatnya frekuensi berkemih, polakisuria yang masif dengan rasa ingin berkemih yang hebat (imperatif) sampai gejala yang berat seperti urge incontinence dengan tenesmus vesika.

            Iritabel vesika terjadi karena tingginya sensitivitas dan rangsangan terhadap detrusor, dimana tekanan vesika bisa normal, hipertonik atau hipotonik. Iritabel vesika dibagi menjadi dua yaitu tipe vesika dengan nyeri yang hebat di sekitar vesika dan nyeri ini akan menghilang saat mulai berkemih, dan tipe yang kedua adalah tipe urethra, dengan rasa nyeri seperti terbakar yang tidak berhubungan dengan miksi. Gejala utama iritabel vesika adalah polakisuria. Penyebab iritabel vesika biasanya disebabkan oleh atrofi vesika dan urethra akibat kekurangan estrogen. 1,3

Kombinasi Stress dan Urge Incontinence

            Penyebabnya adalah kekurangan estrogen. Kekurangan ini menyebabkan terjadinya iritabel vesika dengan urge incontinence dan stress incontinence akibat atrofi sel-sel epitel traktus urinarius bagian bawah. 1

 

Mekanisme Kerja Estrogen

Sampai sekarang terdapat satu reseptor yang merupakan media dari semua kerja estrogen, dikenal dengan reseptor estrogen alfa. Adanya respon dari jaringan maupun sel kesemuanya bergantung pada adanya ikatan estrogen dengan reseptor  tersebut pada jaringan maupun sel. Bila ikatan tersebut teraktivasi, maka reseptor akan berinteraksi dengan  dengan gen target yang hasil ekspresinya diatur oleh ikatan yang teraktifasi tersebut. Sehingga ikatan estrogen dengan reseptornya ini yang akan menentukan aktifitas biologis estrogen pada target jaringan.

Kompleksitas kerja estrogen melalui reseptornya lebih jauh lagi didukung dengan diidentifikasinya reseptor estrogen yang kedua, dikenal dengan reseptor estrogen beta. Reseptor estrogen beta mempunya kesamaan dengan reseptor estrogen alfa, yaitu dalam interaksi dan aktivasi pada gen yang sama. Tetapi hanya sekitar 60% kesamaannya dalam ligand-binding domains. Sehingga jenis estrogen yang bervariasi tersebut dapat berikatan dengan reseptornya dengan cara yang berbeda. Adanya dua resptor tersebut dapat menjelaskan adanya selektivitas kerja estrogen pada jaringan target yang berbeda. Efek selektif estrogen dan analognya kemungkinan berhubungan dengan adanya perbedaan distribusi resptor estrogen tersebut pada setiap jaringan.

Aktivitas biologi utama estrogen adalah mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi dalam jaringan reproduksi, termasuk glandula mammae, uterus, dan ovarium. Estrogen akan memacu pertubuhan endometrium, miometrium, dan epitelium vagina maupun urethra. Selain itu juga menambah aliran darah ke traktus genitalis.  4

 

Terapi Inkontinensi dan Peranan Estrogen

Salah satu tindakan non operatif untuk penanganan berbagai bentuk inkontinensia adalah pemberian terapi hormonal dengan estrogen, yang dapat diberikan per oral atau lokal. Estrogen membantu kontinensia urin dengan cara meningkatkan resistensi urethra, meningkatkan ambang sensoris vesika urinaria, dan meningkatkan sensitifitas reseptor adrenergis alfa pada otot polos urethra. Terapi pemberian estrogen akan meningkatkan jumlah sel basal dan intermediet vagina, vesika urinaria, dan urethra pada wanita pasca menopause. Selain itu estrogen juga digunakan sebagai terapi profilaksi untuk infeksi traktus urinarius yang rekuren pada wanita pasca menopause dengan atrofi urogenital.  1,2

Sensitivitas vesika urinaria dan urethra terhadap estrogen telah diketahui. Everett menyatakan urethra wanita lebih rentan terjadi atrofi urethritis senile dibandingkan terjadi vaginitis senile sebagai akibat kurangnya estrogen. Pada penelitian meta analisis, dikatakan bahwa pemberian estrogen dapat mengurangi bahkan menghilangkan gejala yang timbul akibat inkontinensia. Caine dan Raz menemukan perbaikan gejala stress inkontinence dan peningkatan tekanan urethra maksimum pada 65% wanita pasca menopause yang diberikan estrogen konjugasi secara oral. Rud melakukan penelitian dengan memberikan estrogen oral dosis tinggi kombinasi dengan estriol dan hasilnya terdapat peningkatan transmisi tekanan intra abdominal urethra serta peningkatan tekanan maksimum urethra.1,2,5

            Pemberian kombinasi estrogen dan adrenergis alfa memberikan hasil yang lebih baik. Penelitian yang dilakukan Hilton dkk. pada wanita pasca menopause yang menderita stress incontinence menunjukkan perubahan gejala yang signifikan pada wanita yang diberikan kombinasi estrogen dengan fenilpropanolamin dibandingkan dengan wanita yang diberi estrogen saja. 1

            Estrogen menyebabkan proliferasi mukosa urethra dan mukosa trigonum vesika sampai ke lapisan superficial. Elastisitas urethra meningkat dan tonus otot polos dan serat lintang meningkat sehingga terjadi peningkatan tekanan. Selain itu estrogen meningkatkan vaskularisasi jaringan kavernosa urethra dan memperbesar diameter pembuluh darah menyebabkan jaringan tetap erektil, urethra dapat menutup dengan baik sehingga tekanan urethra meningkat. 1,2,3

            Umumnya gejala sudah terlihat satu tahun setelah menopause sehingga pemberian estrogen harus mulai secepat mungkin, karena apabila terlambat akan terbentuk jaringan fibrotik yang akan mempersulit pengobatan. Oleh karena itu estrogen sangat dianjurkan untuk pengobatan dan pencegahan penyakit yang disebabkan oleh gangguan traktus urinarius pada wanita pasca menopause, tetapi diperlukan pengobatan jangka panjang agar didapatkan hasil yang baik. Pada urge incontinence, pemberian estrogen dapat mengurangi frekuensi berkemih, terasa adanya perubahan dalam perasaan berkemih. Perbaikan ini terjadi karena adanya efek estrogen terhadap mukosa urethra, trigonum dan vagina. Stress incontinence akibat kelainan organik seperti prolap, harus dilakukan tindakan operatif. Apabila setelah tindakan operatif terjadi gangguan pengeluaran urin dengan gejala polakisuria, mikturia, kencing menetes, maka perlu dilakukan dilatasi urethra atau urethrotomi.1

            Stress incontinence yang terjadi bersama urge incontinence perlu diberikan estrogen, selain tindakan operatif. Estrogen diberikan sebelum dan setelah operasi. Bila stress incontinence diikuti iritabel vesika, maka iritabel vesika harus diobati dulu dengan estrogen dan kemudian dilanjutkan operasi. Apabila iritabel vesika disebabkan oleh infeksi, maka harus diberikan antibiotika jangka panjang.1

 

Perubahan Traktus Genitalis pada Masa Menopause

            Traktus genitalis mengalami perubahan anatomis dan fisiologis setelah menopause. Jaringan subkutan menghilang dan epidermis menipis, labia mayus dan minus mengecil, rambut pubis berkurang, sel epitel vagina berkurang dan tipis, rugae vagina menghilang dan obliterasi forniks. Elastisitas vagina berkurang dan vagina menjadi pendek, sempit dan kaku. Sel glikogen berkurang sehingga menyebabkan kolonisasi Doderlein’s bacilli dan produksi asam laktat menurun sehingga terjadi  peningkatan pH vagina. Hal ini menyebabkan meningkatnya infeksi traktus urinarius dan vaginitis atrofi.1,5,6

            Reseptor estrogen terdapat di vagina, serviks, uterus, tuba falopi, trigonum vesika urinaria, jaringan ikat disekitar urethra dan otot dasar pelvis. Kekeringan vagina pada atrofi vagina terjadi akibat menurunnya aliran darah ke vagina, berkurangnya cairan vagina dan menurunnya sekresi selama hubungan seksual. Perubahan pada vagina ini dapat menyebabkan vaginitis, pruritus, dispareunia, stenosis atau hilangnya libido setelah menopause.1,5,6

 

Terapi Estrogen pada Atrofi Genitalia

            Keluhan yang disebabkan atrofi vagina memiliki respon yang baik pada pemberian estrogen, baik secara oral maupun local. Estrogen dapat memperbaiki atrofi mukosa, menurunkan pH vagina, mengurangi kolonisasi bakteri patogen, menyebabkan proliferasi epitel vagina dan meningkatkan aliran darah vagina. Untuk mendapatkan proliferasi epitel vagina diperlukan pemberian estrogen jangka panjang. Estrogen yang paling baik untuk keluhan yang disebabkan atrofi vagina adalah estriol (E3) krem, dengan dosis 0,5 mg/hari selama 3 minggu pertama, diikuti 0,5 mg selama 2 kali tiap minggu pada 1 minggu terakhir. Pemberian E3 dengan dosis ini tidak menyebabkan proliferasi endometrium. Pada pemberian oral diberikan dosis 1-2 mg/hari, untuk dapat mengembalikan fungsi vagina seperti semula diperlukan pengobatan 18-24 bulan. Dosis rendah diperlukan untuk memperbaiki atrofi vagina, dosis tinggi untuk mengurangi gejala vasomotor. Terapi alternatif selain estrogen adalah tamoxifen. Selain itu aktivitas seksual mungkin mencegah atrofi vagina dengan cara memelihara aliran darah epitel dan pH normal.1,5,6

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

1.      Baziad A, Santoso BI, Josoprawiro MJ. Terapi Hormon Pengganti dan Sindroma Urogenital. Dalam: Panduan Menopause. Pokja Endokrinologi Reproduksi, Jakarta 1997:52-60

2.      Gonzaga FP. Symptoms and treatment of the menopause:urogenital changes. Department of Obstetrics, College of Medicine, University of the Philippines, Manila.

3.      Merkelj I. Urinary Incontinence in the Erderly. Featured CME Topic: The Older Patient. Department of Geriatric Medicine and Gerontology, College of Medicine, East Tennesse State University.

4.      Baziad A, Ichramsjah AR. Klimakterium dan Menopause. Dalam: Endokrinologi Ginekologi.Kelompok Studi endokrinologi Reproduksi, Jakarta 1993:147-154

5.      Anonim. Estrogen Receptors. U.S. Pharmacist Continuing Education, 2001.

6.      Bachmann G, Nevadunsky NS. Diagnosis and Treatment of Atrophic Vaginitis. American Family Physician 2000;61:3090-6

7.      SperoffL, Glass RH, Kase NG.. Menopause and Postmenopaual Hormon Therapy. In: Clinical Gynecologic endocrinology and Infertility, 5th Ed., william&wilkins, Maryland,1994: 595-6

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Posting Komentar untuk "PERUBAHAN SISTEM UROGENITAL PADA MASA MENOPAUSE"