Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Edmund Husserl -Filsafat Ilmu

Makalah ini dibuat untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah

“ FISAFAT ILMU”

Dosen Pengampu: Prof. Dr.H. Sangkot Sirait.M.Ag




















Disusun oleh:

Yoespie Arief Amirullah

NIM : 19204010081




PASCASARJANA

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM 

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2018

A. EDMUND HUSSERL (Fenomenologi)

1. Pendahuluan 

Pemikiran Husserl merupakan pemikir yang yang sangat  berpengaruh terhadap para pemikir filsafat di abad modern. Apalagi dalam sebuah pemikirannya Edmund sendiri berpacu pada Fenomenologis yang hampir sama dengan sejarah epitemologis. Lahirnya Epistemologis dari cabang Filsafat ilmu. Membuat Epistemologis di kenal di kalangan ilmuwan.

Sejarah epistemologi, keberadaan epistemologi sebagai cabang mandiri dari filsafat tidak terlalu menyisakan sejarah yang panjang. Secara historis  hal itu hanya dapat di lacak hingga abad ke-1 atau 18 M. Namun, kehadiran tema dan persoala epistemologi memiliki jejak yang sangat sepuh setua usia tradisi filsafat di yunani kuno. Bermula dari sini setidaknya perkemabangan epistemologi hingga saat ini dapat kita bagi dalam perspektif utama:

a. Pespektif klasik

b. Pespektif modern; dan

c. Pespektif kontemporer

Munculnya pespektif klasik pada ranah epistemologi ini dapat di runut semenjak masa pemikiran filosoi yunani kun, khususnya pada madzab filsafat sokrates, plato dan aristoteles serta pengikutnya. Pespektif ini sempat berkembang  hingga bad pertengahan dan amat di minati oleh para filsuf skolastik.  


2. Biograi Husserl

HUSSERL (1859-1938)  adalah filsuf jerman yang cukup terkenal. Maka sudah tentu sedikit banyak ia terpengaruh oleh sedikit banyak pengaruh idealisme jerman. Nama lengkapnya adalah edmund Gustav Aibercht Husserl. Ia lahir di kota kecil Prosznits di saerah moravia, yang pada waktu itu merupakan wilayah kekaisaran Austria-Hongaria. Tetapi sejak akhir perang dunia I (1918) masuk wilayah cekoslowakia. Husserl belajar di universitas Leipzeig, Berlin dan Wina dalam bidang matematika, fsika, astronomi dan filsafat.  Untuk beberapa waktu ia menjadi asisten pada weierstrass, ahli matematika yang tersohor di Berlin. Minatnya untuk Filsafat terutama di bangkitkan oleh kuliah-kuliah Franz Brentano, seorang filsuf yang memainkan peranan penting di Universitas Wina waktu itu. dalam filsasafatnya pemikir wina waktu itu menggabungkan pemikiran skolastik.

Husserl meraih gelar “doktor filsafat”  dengan sebuah disertasi filsafat matematika yang berjudul beitridgezur Variationsrechnung (1883). Lalu mempersiapkan apa yang disebut orang Jerman  Habilitationsschrift yang berjudul ueber dan Begrifderzahl (tentang konsep bilangan, 1887). Sesudah itu, dia diangkat sebagai dosen  (Privadozent) di Halle (1887-1901). Disitu ia meneruskan penelitiannya tentang kosep matematika dan sebagai hasil studinya di terbitkannya buku Philosophie Arithmetik, Psychologiche  and logische  Untersuchungen (Filsafat ilmu berhitung), penelitian-penelitian Psikologis dan logis, 1891).

Pada tahun 1992  menerbitkan formale un Transcendentale  Logik (logika Formal dan Transedental) . beberapa ceramah yang di bawakan di Paris (1929) di terbitkan dalam terjemahan Prancis dengan judul Meditations Cartisiennes (Meditasi-meditasi gaya descartes,1931). Setelah masuk masa pensiunnya, Husserl tetap bekerja keras, mengingat begitu banyak tugas yang harus di selesaikan oleh Fenomenlogi.  Antara  lain ia menulis karya yang besar Die Krisis der europaische  Wissenschaftenund  die Tranziedentale Phanomenologie (Krisi dalam ilmu pengetahuan di Eropa  dan Fenomenologi Transidental), tetapi hanya sebagian terbit sewaktu ia masih hidup. Sesudah meninggalnya, langrebe menerbitkan lagi buku  Husserl Eufahrung  and Uertiel (pengalaman dan putusan pada tahun, 1939). Husser tutup usia pada tanggal 27 April 1938 dalam usia 79 tahun setelah hampir setaun menderita sakit. 











B. PENGETAHUAN FENOMENOLOGI


1. Latar belakang historis munculnya Fenomenologi

         Latar belakang munculnya Fenomenologi. Pada awalnya istilah Fenomenologi sendiri di perkenalkan oleh J. Lambert, tahun164, untuk menujuk pada teori kebenaran  (Bagus,2002:234). Setelah itu, istilah ini di perluas pengertiannnya. Sedangkan menurut kockelmans (196, dalam Moustakas  (1994:26), fenomenologi di gunakan dalam filsafat pada tahun 1765, yang kadang- kadang di temukan dalam karya-karya Immanuel Kant, yang kemudian di definisikan secara baik dan di konstruksikan sebagaimakna teknis oleh Hegel. Menurut Hegel, Fenmenologi berkaitan dengan pengetahauna yang muncul dalam kesadaran, sains yang mendeskripsikan apa yang di pahami seseorang dalam kesadaran dan pengalamannya.

       Fenomenologi di cetuskan secara intens sebagai kajian filsafat pertama kali oleh Edmund Husserl (1859-1938), sehingga Husserl sering di pandang sebagai Bapak Fenomenologi. Filsafatnya sangat populer sekitar tahun 1950-an. Tujuan utama filsafat ini adalah memberi landasan bagi filsafat agar dapat berfungsi sebagai ilmu yang murni dan otonom (Kuper dan kuper, ed., 1996:749). Pada awal perkembangannya,  fenonemologi merupakan seperangkat pendekatan studi filosofis dan sosiologis, serta studi tentang seni (Edgar dan Sedwick,1999:21).

        Kemunculan fenomenologi oleh Husserl di latar belakangi oleh kenyataaan  terjadinya krisis ilmu pengetahuan.  Dalam krisis ini, ilmu pengetahuan tidak bisa memberikan nasihat apa-apa bagi manusia. Ilmu pengetahuan senjang dari praktik hidup sehari-hari. Hal ini, menurut Husserl, konsep teori sejati telah banyak di lupakan oleh banyak disiplin yang maju dalam kebudayaan ilmiah dewasa ini. Sehubungan dengan itu, Husserl mengajukan kritik terhadap ilmu pengetahuan sebagai berikut:

(1) Ilmu pengetahuan telah jatuh pada objektivisme, yaitu cara memandang dunia sebagai susunan fakta objeki dengan kaitan-kaitan  niscaya. Bagi Husserl, pengetahuan seperti itu berasal dari pengetahuan pra ilmiah sehari-hari, yang disebut lebenswelt.

(2) Kesadaran manusia atau subjek di telan oleh tafsiran-tafsiran  objektivitas itu, karena ilmu pengetahuan sama sekali tidak membersihkan diri dari kepentingan –kepentingan dunia kehidupan sehari-hari itu.

(3) Teori yang di hasilkan dari usaha membersihkan pengetahuan dari kepentingan –kepentingan itu adalah teori sejati yang di pahami tradisi pemikiran barat. 


2. Arti Makna Dasar Fenomenologi

Menurut Smith fenomenologi Husserl adalah sebuah upaya untuk memahami kesadaran sebagaimana  dialami dari sudut pandang orang pertama. Secara Literal Fenomenologi adalah studi tentang Fenomena, atau tentang segala sesuatu yang  tampak bagi diri kita di dalam pengalaman subyektif, atau tentang bagaimana kita mengalami segala sesuatu di sekitar kita. Setiap orang pada dasarnya  pernah melakukan praktek fenmenologi. Ketika anda bertanya “apakah yang akurasakan sekarang?, apa yang sedang aku pikirkan?”,  “apa yang akan kulakukan?”, maka sebenarnya anda melakukan fenomenologi, yakni memahami apa yang anda rasakan, pikirkan , dan apa yang akan anda lakuka dari sudut pandang orang pertama. 

Sebagaimana pada abad tengah pemikiran metafisika yang diusung oleh Rene Descartes (1596-1650)  mendorongnya untuk memikirkan;  bagimana manusia  mendapat pengetahuan?’ atau  dengan kata lain; bagaimana  cara filsuf itu sampai pada kesimpulannya?”  beberapa pertanyaan inilah yang kemudian disebut dengan persolan epitemologis.  Dengan begitu muncullah Fenomenologis yang  mencari jati diri sebagai kesadaran objektif Husserl.

Istilah fenomenologis sendiri berasal dari bahasa Yunani. Husserl dalam buku The Shorter Logical Investigations mengatakan Fenomenologi melindungi esensi  gramatical pengalaman logis kita. Istilah phenomenologi  bersal dari bahasa Yunani: Phainomenon berarti yang muncul”, dan Logos “Ilmu Kajian studi”. Oleh Edmund Husserl (1859-1938) menjadi studi filosofis tentang struktur pengalaman subyektif dan kesadaran. 

  Secara umum, Fenomenologi, dalam konsep Husserl, terutama berkaitan dengan refleksi sitematis dan studi tentang struktur kesadaran dan fenomena yang muncul dalam tindakan kesadaran. Ontologi ini dapat di bedakan secara jelas dari metode Cartesian analisis yang melihat dunia sebagai obyek, set benda, dan benda-benda bertindak dan bereaksi terhadap satu sama lain. Konspsi fenomelogi Husserl  telah di krtik dan di kembangkan tidak hanya oleh dirinya sendiri tetapu juga oleh siswanya seperti Edith Stein, oleh filsuf hermeneutik, seperti matin Heiger, oleh eksistensialis, seperti Max Scheler, Nicolai Hartmann, Maurice Merleau-Ponty, Jeaun Paul Sartre, dan Oleh para Filsuf lainnya, seperti Paul Ricoeur, Emmanuel Levinas, dan sosiolog alfred Schutz dan Eric Vogelin. 

























C. METODE HUSSERL DALAM  PERSPEKTIF FENOMENOLOGI


1. Metode Fenomenologi Husserl  dalam  Filsafat ilmu

Pemikiran Husserl terhadap Filsafat ilmu yang cenderung fokus pada fenomenologis. Membuat para filsafat mengkritisi pemikirannya. Pemikirannya Fenomenologis sendiri terpusat pada rasionalitas yaitu “ yang berdasarkan pada akal (budi)”. Disamping itu dalam metodenya menggunakan aktualisasi Yaitu “sesuai dengan kenyataan yang objektif”.  Hal yang mendasar bagi Husserl sendiri yaitu menemukan sebuah konsep fenomenologis yang dapat menemukan sebuah kebenaran. 

Menurut (Titus, 1984:399) Bagi Husserl, fenomenologi sendiri merupakan metode dan filsafat. Fenomenologi sebagai metode membentangkan langkah-langkah yang harus diambil  sehingga kita sampai pada fenomena murni.  Beberapa yang sangat condong dalam pemikiran Husserl mengenai epistemologi merujuk pada fenomena.  Bagi Husserl, apa yang disebut  Fenomena adalah realitas itu sendiri yang nampak setelah kesadaran kita cair dengan realitas.  Sehingga Fenomenologi Husserl  justru bertujuan  mencari essensial atau eidos (esensi) dari apa yang disebut fenomena. Metode yang di gunakan untuk mencari esensial adalah dengan membiarkan fenomena itu berbicara sendiri tanpa di barengi dengan prasangka (presuppositionlessness). 

Kritik Sartre atas fenomenologis Husserl, Fenomenologis Husserl masih memuat kelemahan. Kelemahannya itu terdapat pada sikap ilmiah yang netral, yang berakibat manusia hanya menjadi penonton belaka tanpa turut memberi keputusan atau penilaian.  Sartre berusaha memberi perana yang lebih kepada intensionalitas, dan dengan dengan demikian  maka dalam dialektika antara kesadaran yang mengarah ke dunia dengan dunia yang menampakkan dirinya, lahirlah suatu dunia yang di hidupi atau dunia manusiawi. Dengan kata lain, dengan memberi peranan lebih besar kepada kesadaran lengkap dengan emosi, kebencian, ketakutan, penderitaan, keterasingan, dan kerinduannya yang di kawinkan dengan dialektika Karl Marx, maka filsafat Sartre menjadi suatu eksistensialisme yang humanis. Jadi dari Husserl, Sartre Hanya meminjam fenomenologi yang melingkupi instensionalitas kesadaran yang identik dengan kebebasannya. 

Kajian Fenomenologi Husserl sendiri mengkritisi filsafat  dalam konteks ilmu dan pengetahuan. Artinya  Husserl sendiri mencari kebenaran dengan melalui fenomenologis yang mengarah pada aspek teori, keyakinan, kebatinan dan kesadaran. Berbeda dengan Prinsip Descartes, yang telah menjadikan  rasio satu-satunya kriteria (rasionalisme) untuk mengukur kebenaran (Co gito ergo sum). Berbeda dengan Dengan Descartes, David Hume (1711-1776), menegaskan panca indera adalah sumber ilmu  (empirisme). Oleh karen itu, Hume menyimpulkan ilmu tidak mungkin diraih  (skeptisisme).  Yang secara bahasa ilmiah,  pengetahuan tersebut belum teruji secara layak.

Selain Husserl dan Alfred Schutz, fenomenologi berkembang, antara lain, dalam pemikiran Morleau-Ponty, Martin Heidger, dll. Tetapi secara umum dari semua aliran fenomenologi, menurut lubis (2004:202) memiliki keyakinan yang sama dalam hal:

a. Keyakinan bahwa manusia dapat mengerti kenyataan sesungguhnya dari suatu fenomena.

b. Keyakinan bahwa ada hal yang menghalangi manusia untuk mencapai pengertian yang sebenarnya.

c. Keinginan menerobos kabut (penghalang) dengan melihat fenomena itu sendiri sebagaimana adanya. 


2. Pendekatan Fenomenologi: Agama

Fenomenologi akan tampak sebagai konsep cara (metode berfikir) yang akhirnya fenomenologi Husserl dapat di pahami. Oleh karena itu, Husserl sendiri dalam filsafat menggunakan dua metode pendekatan (tolak ukur) dalam menganasilis pengetahuan. Pertama, kebenaran  ialah yang terkandung dala suatu pengetahuan.  Pada pengetahuan ini nilai kebenaran tergantung pada cara atau bagaimana memperoleh pengetahuan, sikap pada subjek dalam mencoba menggali sebuah kebenaran, sarana yang di pergunakan untuk mengamati objek. Kedua, fenomenologi Husserl yang menjadi tolak ukur kebenarannya intersubjektif. Ia berpandangan bahwa pengetahuan mempunyai  nilai benar jika melakukan eksplorasi makna noumenon di balik phenomenon menuju ke metateori atau metasains. Makna noumenon dapat mengacu pada acuan monolitik, kemudian boleh juga mengembangkan alternatif acuan di vergen. 

Pendapat Fenomenologi agama menurut Hasan Hanafi. Fenomenologi menurut Hasan Hanafi merupakan metode yang paling baik dalam memahami keagamaan dan realitas yang ada. Dengan analisis fenomenologinya, Hanafi berkesimpulan bahwa untuk memperoleh kemajuan kembali umat islamdi perlukan rekontruksi teologi, namun rekontruksi yang belai ajukan tidak hanya bersifat rekontruksi, yang hanafi ajukan  adalah mengkaji  kembali hasil pemikiran masa lampau dan mengapresiasinya dengan konteks yang sesuai dengan masa sekarang. 

Ada tiga tahap yang di tawarkan oleh Husserl, yaitu pertama reduksi fenomenologis, yaitu penyaringan terhadap semua pengalaman sehari-hari tentang dunia yang di campuri pengertian ilmiah dan kultural, guna memandang kembali dunia dalam arti aslinya. Atau dengan kata lain, reduksi ini adalah “pembersihan diri” dari segala subyektifitas yang dapat mengganggu perjalanan mencapai realitas itu.  kedua reduksi eidetis. Menurut Husserl, reduksi ini tidak lain dari upaya untuk menemukan eidos atau hakikat fenomena yang tersembunyi. Pada tahap ini segala sesuatu yang  dianggap hakikat fenomena yang diamati harus disaring untuk menemukan hakikat yang sesungguhnya dari fenomena itu. ini berarti segala sesuatu yang di lihat harus di analisis. Secara cermat dan lengkap agar tidak ada yang terlupakan. Dalam upaya menganalisis, fenomena yang diamati dengan lengkap dan cermat itu, perhatian pengamat  harus seantiasa terarah  kepada isi yang paling fundamental dan sesuatu yang bersifat paling hakiki. Ketiga reduksi transendental, menyisihkan dan menyaring semua hubungan fenomena yang diamati dari fenomena lainnya. Dalam reduksi transedental yang di tempatkan diantara tanda kurung ialah eksistensi dan sesuatu yang tidak ada hubungan timbal balik dengan kesadaran murni, agar dari obyek itu akhirnya orang sampai kepada apa yang ada pada subyek sendiri, dengan kata lain metode fenomenologi di terapkan pada subyeknya sendiri dan kepada perbuatannya, kepada kesadaran yang murni. Reduksi ini dengan sendirinya bukan lagi mengenai objek, atau fenomena bukan mengenai hal-hal yang menampakkan diri pada kesadaran.  Reduksi transedental bermaksud menemukan kesadaran murni dengan menyisihkan kesaran empiris. Sehingga kesadaran diri sendiri tidak lagi berlandaskan pada ketidak berhubungan dengan fenomena lainnya. Kesadaran diri yang telah bebas dari kesadaran empiris itu mengenai seluruh pengalaman, maka bersifat transedental. Dengan demikian yang tinggal sebagai hasill reduksi adalah aktus kesadaran sendiri. Kesadaran yang di temukan adalah kesaran yang bersifat murni atau transedental, yaitu yang ada bagi diriku dalam aktrus-aktrus. Dengan singkat dapat disebut aku “Tansidental”. 

Sebagaimana mediator Fenomenologi atas Husserl, menurut Heddy (296:2012)  manusia memerlukan perangkat komunikasi yang semuanya merupakan simbol-simbol baik material, behavioral maupun ideational.  Simbol-simbol untuk melakukan komunikasi dengan dunia gaib inilah yang biasa disebut sebagai simbol-simbol “Keagamaan”. Kajian fenomenologis disini akan berupaya mengungkap dan mendeskripsikan kesadaran pemeluk agama mengenai simbol-simbol “Keagamaan” tersebut, simbol-simbol yang di gunakan oleh manusia yang berada dalam dunia empiris untuk berkomunikasi dengan dunia gaib, untuk “menyapa” tokoh-tokoh, pelaku dalam dunia gaib. 

Pendekatan agama dalam intensitas Fenomenologi. Merupakan arah yang mudah di pahami. Secara silmbolis agama sendiri terbentuk karena kesadaran. Yang mengedepan “Aql, Fikr dan Dzikr” yang secara ilmiah sendiri dapat di lihat dalam masyarakat. Terbentuknya agama  karena berkonsep dari wahyu Allah  “Al-qur’an dan Hadist”. George Knight memposisikan wahyu  sebagai kebeneran wahyu yang absolut dan tak tercampuri (murni). 


3. Fenomenologi: hubungan Ilmu Sosial dan Budaya

Dalam pandangan Natanton (Mulyana, 2002:59) fenomenalogi merupakan istilah generik yang merujuk kepada seuan pandangan ilmu sosial yang menganggap bahwa kesadaran manusia dan makna subjektif sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial. Tentu saja, dalam kaitannya dengan penelitian budayapun pandangan subjektif informan sangat di perlukan. Subjektif akan menjadi sahih apabila ada proses intersubjektif antara peneliti budaya dengan informan. 

Sebagai perangkat simbol kebudayaan juga memiliki tiga wujud, yakni berupa budaya material (material culture), budaya perilaku (behavioral culture).  Budaya material  adalah simbol-simbol yang bersifat isik, material atau bendawi, seperti misalnya mobil, sepeda motor, sepeda,pakaian, rumah dan sebagainya. Simbol-simbol fisik ini tidak harus merupakan hasil karya atau buatan manusia memberikan pemaknaan tidak hanya kepada benda-benda hasil buatan saja, tetapi juga gejala-gejala alam, sebagaimana terlihat dengan jelas pada fenomena totetisme di kalangan masyarakat yang masih sederhana. 

Manusia dan agama merupakan simbol kebudayaan. Mengapa demikian, hal ini karena manusia merupakan “Makhluk” yang mampu berifkir secara rasional. Hubungan agama sendiri  dalam kehidupan merupakan sebuah kepercayaan. Sehingga dalam kehidupan manusia selalu bersoalisasi. Sebagaimana fenomena gerhana  bulan dan terjadinya gerhana matahari kadang di pengaruhi oleh sifat mitos, agama, adat yang masih memegang teguh pada fenomena yang terjadi. Hal inilah, dari konsep batiniyyah secara realitas manusia kembali lagi pada agama sebagai salah satu unsur Ukhrawi.



KESIMPULAN

Dalam tulisan makalah ini saya mencoba menuliskan secara singkat. Konsep Fenomenolog Husserl, pendekatan fenomenologi sendiri berkembang melalui beberapa aspek yang mana aspek tersebut terdapat pada sebuah keilmuan filsafat. Pengetahuan Husserl mengenai Fenomenologi mengkaji asumsi pengetahuan yang intinya menemukan kebenaran. 

Feminologi sendiri  merupakan sudut pandang yang mengarah pada pengetahuan, keilmuan, agama, sosial dan budaya.  Yang tindakannya secara objektif dapat dianalisis secara benar. Manusia sendiri merupakan makhluk sosial yang  memiliki pengetahuan yang mengarah pada perilaku dan tindakan.  Dalam diri manusia terdapat kesadaran (jiwa) serta memiliki gejala sosial yang mengarah pada perilaku.

Dari pemahaman Husserl ata Feminologi di temukan cahaya “Intensionalitas” yang berkonsep bahwa dalam diri manusia  terdapat kebenaran batiniyyah. Sebagaimana Rene Descartes “Co Gito ergo Sum”  yang berasumsi aku berfikir maka aku ada. Secara singkat feminologi sendiri, merupakan kesadaran “aku” yang merupakan konsep batiniyyah. 

Secara respon, Feminologi terbentuk karena kesadaran. Konkrit feminologi sendiri menggambarkan pengalaman dan perilaku manusia. Dalam diri manusia pat di kaji mendalam mengenai pikiran, emosi, hasrat dan sebagainya. Husserl,  terfokus pada aspek kajian psikologi manusia. Terpusat pada pikiran dan batiniyyah (kesadaran) manusia.










DAFTAR PUSTAKA

Adawiyah, Rabiatul, Fenomenologi Agama dalam pespekti Hasan Hanai,  PP. Misftahul Ulum Sumber jaya Kintap Kalimantan selatan, Email: nangaem@gmail.com, di ambil dari: https://www.researchgate.net /publication/329673544_FENOMENOLOGI_ AGAMA_DALAM_PERSPEKTIF_HASAN_HANAFI, di kases pada 07/10/2019.


Armas, Adnin,  Seri Kajian Oksidental, Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu, CIOS, Unida Gontor 2015. 


Ahimsa-Putra, Heddy Shri, Fenomenologi Agama: pendekatan Fenomenologi untuk memahami Agama, Email:ahimsa_putra@yahoo.com, Unicersitas Gadjah Mada, Vol.20. No.2 November 2012. Di ambil dari: journal.walisongo.ac.id › index.php › walisongo › article › download, diakses pada 06/10/2019.


George K Night, Filsafat Pendidikan, penerbit Gama Media, Yogyakarya. 


Hamid, Dr. Farid M.si. Pendekatan Fenomenologi (suatu Ranah penelitian Kualitatif), diambil dari: http://digilib.mercubuana.ac.id/manager/t!@file_artikel_abstrak/Isi_Artikel_718793118976.pd, diakses pada: 06/10/2019.


Muslih, Muhammad, Pengetahuan Intuitif Model Husserl & Surahwadi, CIOS, Unida, Gontor. Cet I. Juni 2010. 

Mhd Halkis, Jurnal Alfikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.14, No 1, Januari-juni 2015, Fenomenologi: Alternatif Pengemabangan Ilmu, Email: Muhammadhalkis@gmail.com, diambil dari: http://ejournal.uin-suska.ac.id/i ndex.php/al-fikra/article/download/ 3901/2482, diakses pada 07/10/2019. 


Siswanto, Dwi, E-Journal, Jurnal Filsafat, Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada, Refleksi aktualitas Fenomenologi Edmund Husserl dalam perkembangan kontemporer, diambil dari: https://jurnal.ugm.ac.id/ wisdom/article/view/31773, Di akses pada: 06/10/2019.


Supriadi, Jurnal Scriptura,  Perkembangan Fenomenologi pada realitas sosial masyarakat dalam pandangan edmund Husserl, Stikosa-AWS Surabaya, Indoenesia, Email:r4y4prian@yahoo.com. Vol.5 No.2 Desember 2015. Hal:57 dimabil dari: http://scriptura.petra.ac.id/index.php/iko/article/view/19549, diakses pada: 08/10/19.


Suaedi, Pengantar Filsafat Ilmu, penerbit IPB Press, Bogor 2016. 

O. Habiansyah, E-Journal Mediator Vol. 9, Pendekatan Fenomenologi : Pengantra praktik Penelitian dalam Ilmu Sosial dan Komunikasi,  Unisba, diakses dari: https://ejournal.unisba.ac.id, pada: 06/20/2019. Pukul  08.04


Wattimena, Reza A.A, Fenomenologi Edmund Husserl, di akses dari:https://rumahfilsafat.com/2009/08/19/fenomenologi-edmund-husserl/, diakses pada: 06/10/2019 pukul 08.14. 


Posting Komentar untuk "Edmund Husserl -Filsafat Ilmu"